Abstract:
Pengungsi merupakan sekelompok orang yang pergi dengan
keadaan terpaksa dari negaranya dan mencari perlindungan internasional ke
negara lain dikarenakan adanya penyiksaan, konflik, kekerasan secara
umum ataupun pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang terjadi di
negara asal mereka. Perpindahan tersebut berdampak kepada negara-negara
tetangga dari negara yang sedang berkonflik termasuk juga negara Eropa.
Pada tahun 2015, terjadi krisis pengungsi yang menimpa Eropa dan
menyebabkan Eropa kewalahan dalam menangani arus lonjakan pengungsi
yang umumnya berasal dari Timur Tengah seperti Suriah, Irak dan
Afganistan. Salah satu cara Eropa menangani lonjakan yang terjadi yaitu
dengan bekerjasama dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah Turki.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ketentuan dalam the
EU- Turkey Statement melanggar prinsip non-refoulement sebagaimana
yang diatur dalam Konvensi Pengungsi tahun 1951?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
yuridis normative terhadap the Statement. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa Turki belum dapat disebut sebagai negara ketiga yang aman bagi para
pengungsi sehingga menyebabkan penerapan prinsip non-refoulement
menjadi terancam dikarenakan berdasarkan data lapangan memperlihatkan
bahwa Turki beberapa kali mengembalikan pengungsi ke negara asalnya.
Oleh karena itu, ketentuan dan implementasi dari the Statement masih
menjadi perdebatan dalam memberikan perlindungan internasional bagi
pengungsi.