Abstract:
Globalisasi telah mempengaruhi perkembangan arsitektur di Indonesia, terutama dengan munculnya gaya arsitektur international style yang seringkali tidak memperhatikan konteks lingkungan dan kebudayaan setempat yang menyebabkan hilangnya identitas arsitektur dan terjadinya penggeseran terhadap arsitektur tradisional. Namun muncul gerakan kritisi arsitektur dengan langgam international style yang dipelopori oleh Kenneth Frampton. Hal ini dikarenakan tidak memenuhi konteks lingkungan. Dengan adanya gerakan kritisi ini mulai banyak arsitek yang mendesain dengan memperhatikan konteks linkungan salah satunya adalah Popo danes dengan menggabungkan aspek modern dan budaya pada karyanya. Salah satunya adalah Hanging Garden Ubud Terdapat 7 poin Critical Regionalism yang diutarakan oleh Kenneth Frampton. Kemudian ketujuh poin tersebut diadaptasi menjadi 5 poin yang dijadikan sebagai indikator desain dalam penerapan Critical Regionalism. Selain itu digunakan pula konsep arsitektur bali sebagai indikator budaya yang diterapkan pada analisis penerapan Critical Regionalism pada Objek Studi Yaitu Hanging Garden Ubud. Penelitian mengenai Penerapan Critical Regionalism ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan deskriptif-inetpretatif dengan mendeskripsikan lima poin penerapan Critical Regionalism pada arsitektur Hanging Garden Ubud dengan indikator kebudayaan Arsitektur Bali. Kelima poin penerapan Critical Regionalisme in terdiri dari A Preference for Regional Intentions over Normative Optimization, A Consciously Bounded Architecture, More than Scenographic Episodes or Sentimental Historicism, A Responsiveness to Local Conditions and Climate dan An Emphasis on the Tactile. Hasil Penelitain menujukkan bahwa Hanging Garden Ubud memenuhi kelima poin penerapan Critical Regionalism dalam segi desain. Dari kelima prinsip yang merupakan paham critical regionalism yang dianalisis pada bangunan Sessat Agung, yaitu Preferensi untuk wujud regional daripada optimalisasi normatif, Arsitektur yang dibatasi lingkungan secara sadar, Lebih dari sekadar episode skenografi atau historisisme sentimental, Ketanggapan terhadap kondisi dan iklim lokal, dan Penekanan pada pengalaman taktil.