Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan Juche sebagai identitas Korea Utara
yang berpengaruh dalam menjelaskan perilaku Korea Utara mengembangkan
program nuklir dan rudalnya. Korea Utara melakukan pengembangan nuklir dan
rudalnya pada masa kepemimpinan Kim Il-sung dan Kim Jong-il. Saat Kim
Jong-un menjadi pemimpin Korea Utara pada tahun 2011, Kim Jong-un memiliki
kesempatan untuk mengubah kebijakan Korea Utara dalam pengembangan nuklir
dan rudalnya. Dapat dilihat Kim Jong-un pada masa kecilnya berkesempatan
untuk menempuh pendidikan di Swiss, memiliki pemahaman tentang budaya
Barat, serta prinsip dari demokrasi. Pada tahun 2018 dan 2019, Kim Jong-un
mendapatkan dukungan dari negara berkekuatan besar melalui pertemuan
Singapore, Hanoi, DMZ, dan Inter-Korean Summit. Pertemuan tersebut menjadi
sejarah di mana Kim Jong-un menjadi pemimpin Korea Utara pertama yang dapat
bertemu dengan Presiden Amerika Serikat secara langsung. Kim Jong-un juga
menjadi pemimpin Korea Utara yang berkesempatan bertemu dengan Presiden
Korea Selatan setelah tidak bertemu selama 2 dekade terakhir. Dari kesempatan
dan dukungan yang Kim Jong-un miliki, alhasil Korea Utara di bawah
kepemimpinannya tetap terus melakukan pengembangan nuklir dan rudal. Bahkan
uji coba rudal dan nuklir yang dilakukan Kim Jong-un lebih banyak dibandingkan
yang dilakukan oleh Kim Il-sung dan Kim Jong-il. Dengan demikian,
memunculkan pertanyaan penelitian Mengapa Korea Utara di bawah
pemerintahan Kim Jong-un tetap mempertahankan kebijakan proliferasi nuklir? .
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan kerangka pemikiran Teori
Sosial dari Alexander Wendt. Terakhir, penelitian ini menjawab motivasi
pengembangan nuklir dan rudal Korea Utara karena ideologi Juche-nya. Juche
melalui proses sosial dalam sistem internasional yang menghasilkan kepentingan
Kim Jong-un untuk terus mengembangkan nuklirnya demi keberlangsungan
rezimnya. Hal ini menjelaskan perilaku Korea Utara yang bersifat Hobbesian.