Abstract:
Qatar merupakan suatu negara yang kaya akan energi diantaranya berupa
minyak bumi dan gas alam. Hal ini terbukti dengan keikutsertaan negara tersebut
dalam organisasi negara pengekspor minyak dunia yaitu OPEC sejak 1961. Namun
pada tahun 2018, pemerintah Qatar menyatakan bahwa negaranya keluar dari
OPEC terhitung sejak Januari 2019. Pemerintah Qatar beralasan bahwa keputusan
tersebut semata-mata dilakukan demi memfokuskan negaranya dalam
pengembangan produksi LNG di tahun 2024 untuk menyentuh angka 110 juta ton
per tahun. Pengembangan tersebut dilakukan demi mempertahankan posisi Qatar
sebagai produsen terbesar LNG di seluruh dunia. Namun, banyak pihak baik dari
cendekiawan Qatar maupun non-Qatar yang beranggapan bahwa keputusan
tersebut memiliki faktor politik dibaliknya. Penelitian ini mencoba untuk
memperoleh jawaban mengenai faktor ekonomi dan politik yang mendorong Qatar
keluar dari OPEC melalui pertanyaan penelitian "Apa faktor ekonomi dan politik
yang mendorong Qatar keluar dari OPEC pada tahun 2019?" Untuk menjawab
penelitian tersebut, penulis menggunakan teori Merkantilisme yang disertai konsep
organisasi internasional, kepentingan nasional dan keamanan energi.
Merkantilisme mengisyaratkan penggunaan kekuatan ekonomi oleh negara demi
meningkatkan kekuasaan negara. Negara menempatkan ekonominya sebagai
subordinat pemerintah untuk memajukan kepentingan nasionalnya. Penelitian ini
menemukan temuan bahwa terdapat lima faktor ekonomi dan dua faktor politik
yang menjadi dorongan bagi Qatar untuk keluar dari OPEC. Faktor ekonomi
diantaranya ekonomi Qatar yang sangat bergantung dari industri energi Qatar
khususnya LNG, industri LNG qatar yang lebih berkembang dibandingkan industri
minyak, menurunnya produksi minyak bumi Qatar, perkembangan industri LNG
dunia di masa mendatang yang lebih berpotensi dibandingkan industri minyak, dan
adanya kebijakan energi Qatar untuk meningkatkan target produksi LNG di tahun
2024. Sedangkan faktor politik diantaranya didorong oleh kondisi internal OPEC
tidak lagi stabil dan adanya konflik krisis diplomatik yang diperoleh Qatar yang
terbawa ke dalam aktivitas OPEC.