Abstract:
Krisis di Asia pada tahun 1997/1998 merupakan peristiwa penting terutama negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini menjadi penting karena merupakan fase awal dalam terbentuknya regionalisme di Asia dalam bidang ekonomi. Adanya integrasi regional di bidang ekonomi dianggap menjadi jawaban bagi negara-negara maju maupun berkembang untuk memulihkan kondisi perekonomian negara. Terbentuknya China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) pada tahun 2002 adalah salah satu titik balik perekonomian negara-negara khususnya di Asia Tenggara. Indonesia yang merupakan salah satu bagian dari anggota ASEAN terkena dampak dari terbentuknya Free Trade Area ini. Namun walaupun memang adanya penghapusan tarif pada produk-produk pertanian, hal ini berimplikasi negatif pada Indonesia karena produk Indonesia kalah bersaing dengan China. Selain adapula tingkat kemiripan yang tinggi antara negara ASEAN menyebabkan semakin ketatnya persaingan mengenai produk yang beredar di negara anggota ASEAN dan China sendiri. Dengan adanya penghilangan tarif akibat dari terbentuknya kerja sama ekonomi CAFTA, Indonesia melakukan impor karena penawaran yang diberikan tidak dapat memenuhi permintaan masyarakatnya, baik dari segi harga maupun kualitas produk pertanian Indonesia kalah dengan China. Kalahnya daya saing produk Indonesia disebabkan karena pemerintah lebih berfokus kepada sektor industry dibandingkan pertanian, adanya pengalihan fungsi lahan akibat pemerintah mendukung sektor industri dan peningkatan jumlah penduduk, adanya akses pada perdagangan yang berbelit, teknologi yang kurang baik, dan sumber daya manusia yang kurang kompeten. Hal inilah yang melatarbelakangi alasan mengapa neraca perdagangan Indonesia-China mengalami defisit. Penulis menggunakan pendekatan integrasi regional itu sendiri dan liberalisasi perdagangan sebagai penjabaran dampak negatif yang diberikan dari adanya regionalisme pada China-ASEAN FTA.