Abstract:
Penelitian ini berusaha membahas konflik yang telah berlangsung antara
Pemerintah Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka yang terus terperangkap
dalam relasi negara-kelompok yang dipenuhi dengan kekerasan dan tidak dapat
keluar dari pola hubungan tersebut untuk mencari solusi dengan cara damai hingga
sekarang. Dalam rangka menjelaskan deviasi di balik kesulitan untuk dihentikannya
siklus keji tersebut, penulis menggunakan teori Protracted Social Conflict dan studi
terhadap kasus kekerasan pada tahun 2018-2019 dengan memanfaatkan data
sekunder. Pembatasan tersebut didasari oleh skala kekerasan yang tidak hanya
tereskalasi tapi juga bertransformasi hingga mendorong pemerintah pusat untuk
mengambil langkah ekstrem: kembali menurunkan lebih banyak aparat keamanan,
menangkap sejumlah aktivis, serta mematikan internet. Penulis mengidentifikasi
bahwa terdapat ketidakselarasan akan arti ‘kesejahteraan’ dan apa yang menjadi
masalah di mata Pemerintah Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka karena
kurangnya komunikasi 2 arah yang produktif. Aktor internasional juga turut
melakukan disrupsi dalam proses komunikasi yang ikut serta merumitkan
penyelesaian pada kasus Papua Barat tapi belum terakomodir dalam pendekatan
yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Alhasil, enemy perceptions dari
akumulasi ketidakpercayaan dan keluhan Organisasi Papua Merdeka membentuk
rival nationalism yang menjadi ancaman hingga memojokkan Pemerintah
Indonesia.