Abstract:
Denmark merupakan salah satu negara yang aktif dalam Konvensi
Pengungsi 1951 dan salah satu pendonor terbesar UNHCR. Rekam jejak
diplomasi mereka dalam bidang pengungsi, imigran, dan HAM terbilang
mengesankan. Namun pada tahun 2018, Denmark merilis kebijakan “Ét Danmark
Uden Parallelsamfund Ingen Ghettoer i 2030” yang media sebut sebagai
kebijakan diskriminatif. Kebijakan Denmark yang kontradiktif menimbulkan
pertanyaan, "mengapa Denmark sebagai negara inklusif mengeluarkan kebijakan
Ét Danmark Uden Parallelsamfund Ingen Ghettoer i 2030 yang mengeksklusi
kelompok imigran?" Penelitian ini menjawab pertanyaan tersebut. Dalam
menjawab pertanyaan digunakan teori sistem politik dan pendekatan
konstruktivisme yang didukung oleh konsep politik imigrasi dan hak minoritas.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dan teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah studi pustaka.
Penelitian ini menemukan dua faktor yang membuat pemerintah
menerbitkan kebijakan Ét Danmark Uden Parallelsamfund Ingen Ghettoer i 2030.
Pertama, perubahan demografi akibat kehadiran imigran tersebut membuat
masyarakat menuntut penerbitan regulasi yang dapat menjaga stabilitas sistem
kesejahteraan. Denmark mengalami perubahan demografi yang semula homogen
menjadi polietnik. Kedua, elemen kultur dalam politik mengharuskan Denmark
untuk menerapkan asimilasi kepada imigran supaya menghindari konflik
horizontal. Kedua hal tersebut menstimulus pemerintah Denmark untuk
mengeluarkan kebijakan ini sebagai upaya asimilasi. Hal yang membuat kebijakan
tersebut terkesan diskriminatif adalah ketiadaan hak polietnik bagi imigran dan
bukan upaya asimilasinya.