Abstract:
Usaha Dagang X adalah sebuah perusahaan yang berdiri sejak 1997 yang bergerak pada industri retail alat dan bahan garment. Sebagian besar aktivitas penjualan di Usaha Dagang X dilakukan secara kredit. Penjualan kredit di satu sisi memang meningkatkan volume penjualan perusahaan, namun penjualan kredit yang tidak terkendali akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Melihat kerumitan dari penjualan kredit maka diperlukan adanya manajemen piutang dagang di dalam perusahaan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi deskriptif (descriptive study) di mana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau menjadi mampu untuk menjelaskan karakteristik variable yang diteliti dalam suatu situasi.
Pada tahun 2014 dan 2015, 62.51% dan 63.17% dari total nilai transaksi penjualan dilakukan secara kredit. Namun jika dilihat dari kinerja penagihan dan kinerja manajemen piutang Usaha Dagang X dapat dibilang masih kurang baik di mana dari total keseluruhan penjualan kredit Usaha Dagang X 67.8% (2014) dan 63.5% (2015) mengalami keterlambatan pembayaran. Keterlambatan ini menjadi penyebab kesulitan yang dialami oleh Usaha Dagang X untuk memenuhi kewajibannya, terutama kewajiban terhadap supplier yang mengakibatkan aliran kas keluar menjadi lebih besar dari aliran kas masuk. Hal ini menyebabkan perusahaan mengalami defisit. Defisit yang dialami perusahaan paling sering terjadi pada bulan-bulan menjelang hari raya, terutama hari raya lebaran. Hal ini dikarenakan melonjaknya pembelian yang dilakukan Usaha Dagang X untuk memenuhi naiknya demand menjelang hari raya. Tetapi naiknya penjualan ini tidak diikuti oleh pembayaran piutang dagang yang tepat waktu sehingga perusahaan harus melakukan pinjaman kepada bank atau menggunakan surplus kas untuk menutupi defisit. Selain menyebabkan timbulnya biaya bunga jika perusahaan melakukan pinjaman ke bank, penggunaan surplus kas untuk menutupi defisit juga menimbulkan opportunity cost yang seharusnya bisa Usaha Dagang X dapatkan jika ditabungkan dalam bentuk deposito. Untuk membantu masalah keterlambatan ini penulis membuat beberapa skenario untuk mensimulasikan efek penerapan kebijakan manajemen piutang dagang dan kas. Penulis memberikan 3 skenario yaitu skenario finansial di mana perusahaan menabungkan surplus kas yang dimiliki dalam bentuk deposito, skenario operasional di mana perusahaan menerapkan sistem diskon tunai 2% dalam 10 hari dengan harapkan terjadi peningkatan penjualan tunai dan memperketat sistem penagihan piutang dagang perusahaan yang diharapkan dapat mengurangi volume piutang dagang bermasalah, dan skenario campuran di mana perusahaan mengaplikasikan kedua skenario bersamaan. Sebelum diterapkannya skenario dari penulis akumulasi surplus kas perusahaan pada akhir tahun 2014 dan 2015 secara berurutan adalah Rp. 521.290.495 dan Rp. 636.254.908. Penerapan skenario finansial meningkatkan akumulasi surplus kas perusahaan pada tahun 2014 dan 2015 menjadi Rp. 532.362.197 dan Rp. 653.692.826. Penerapan skenario operasional meningkatkan akumulasi surplus kas perusahaan pada tahun 2014 dan 2015 menjadi Rp. 727.608.239 dan Rp. 835.335.818. Penerapan skenario finansial meningkatkan akumulasi surplus kas perusahaan pada tahun 2014 dan 2015 menjadi Rp. 744.247.019 dan Rp. 855.069.086. Berdasarkan peningkatan yang cukup signifikan dari akumulasi surplus kas perusahaan, penulis menyarankan bahwa perusahaan menerapkan skenario campuran dalam kebijakan kas dan kreditnya.