Abstract:
Female Genital Mutilation or Cutting (FGM/C) adalah tindak: pemotongan
organ eksternal alat kelamin perempuan baik secara keseluruhan ataupun
sebagian. Tidak: ada alasan atau keuntungan medis yang menyatakan bahwa
FGM/C harus dilakukan pada perempuan sedangkan resiko medis yang harus
diterima perempuan yang mengalami FGM/C begitu berbahaya. FGM/C yang
memiliki resiko berbahaya bagi perempuan masih terns dilakukan secara turun
menurun karena harga diri perempuan diukur melalui tindakan ini. Sebagai
tanggapan atas FGM/C, UNFPA dan UNICEF hadir untuk membantu negaranegara
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan bekerjasama dan membuat
UNFPA-UNICEF Joint Programme on Female Genital Mutilation/ Cutting:
Accelerating Change yang dijalankan pada 15 negara di Afrika. Penelitian ini
akan hanya berfokus pada 3 negara yang menjadi bagian dari program yaitu
Mesir, Guinea, dan Somalia yang secara statistik memiliki angka FGM/C
tertinggi. Dengan program yang digagas oleh UNICEF dan UNFPA maka
munculah pertanyaan "Apa dampak UNFPA-UNICEF JOINT PROGRAMME
ON FEMALE GENITAL MUTILATION/CUTTING: ACCLERATING
CHANGE terhadap kebijakan dalam negeri Mesir, Somalia, dan Guinea terkait
FGM/C?"
Untuk membantu penulis menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini
mengacu kepada teori libelarisme institusional dan didukung oleh konsep fungsi
IGOs untuk: melihat dampak yang diberikan kedua organisasi intemasional
terhadap kebijakan dalam negeri. Penelitian ini juga menggunakan konsep
policy making dan konsep HAM untuk melihat tanggapan pemerintah atas
pendekatan yang dilakukan organisasi intemasional. Pada akhir penelitian
penulis menemukan dampak dari UNFPA-UNICEF Joint Programme terhadap
kebijakan dalam negeri Mesir, Somalia, dan Guinea. Program yang
diimplementasikan di Mesir belum menghasilkan kebijakan barn. Sedangkan
Somalia dan Guinea berhasil membuat deklarasi dan undang-undang terkait
peniadaan FGM/C