dc.description.abstract |
Popularitas minyak sebagai sumber energi konvensiona1 yang berkembang
sejak awal abad ke-20 telah menciptakan banyak oil-dependent countries.
Sayangnya, sektor minyak sangat rentan terhadap gejolak politik yang seringkali
menyebabkan terjadinya disrupsi penawaran-volatilitas harga. Tahun 2011-2016
merupakan periode volatilitas harga minyak dunia yang terparah, dan menjadi
tantangan bagi oil-dependent countries untuk mencapai ketahanan energi. Dalam
kasus Tiongkok sebagai major consumer, naik-turunnya hargaminyak pada periode
ini menjadi pedang bermata dua karena posisinya sebagai major importer sekaligus
major producer. Namun nyatanya, posisi yang kompleks ini tidak menghalangi
Tiongkok untuk mencapai kebutuban minyaknya. Maka, penelitian ini
menganalisis strategi minyak Tiongkok dalam mencapai ketahanan energi dalam
periode volatilitas harga minyak.
Untuk menjawab permasalalian ini, penulis menggunakan teori dan sejurnlah
konsep. Dengan teori Nasionalisasi Sumber Daya yang merupakan turunan dari
Neo-Merkantilisme, ditemukan bahwa aktor-aktor yang mengontrol sektor minyak
Tiongkok adalah Pemerintah Pusat dan NOCs. Di lingkup domestik, Pemerintah
Pusat menggunakan kapasitas politiknya agar NOCs bisa memonopoli pasar dan
mengontrol produksi. Di lingkup internasional, Pemerintah Pusat melakukan
diplomasi ekonomi untuk mencapai national interest Tiongkok, yaitu dominasi
kontrak dan ladang minyak luar negeri oleh NOCs. Variabel-variabel dalam energy
security juga digunakan untuk membuktikan keberhasilan strategi Tiongkok. Pada
akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa nasionalisasi minyak Tiongkok berhasil
karena kekuatan politik Pemerintah Pusat memudalikan langkah NOCs, sedangkan
NOCs terdesentralisasi sehingga tetap sensitif terhadap sinyal pasar dan
meminimalisasi risiko-risiko perusahaan. |
en_US |