Abstract:
Sejak 1923, pemerintah Turki menangani Kurdi di Turki menggunakan pendekatan berorientasi keamanan. Penolakan Turki atas identitas Kurdi telah mendorong penduduk Kurdi untuk memberontak terhadap pemerintah dan militer Turki. Oleh karena itu, masalah Kurdi dianggap sebagai masalah keamanan utama Turki. Namun, pada tahun 2002, pemerintah Turki mulai menangani masalah Kurdi menggunakan cara kerjasama dan negosiasi demi memenuhi persyaratan Turki untuk bergabung Uni Eropa. Dengan demikian, Turki mulai memasuki proses normalisasi dan akhirnya Kurdi di Turki mencapai perdamaian moderat pada tahun 2013.
Pergeseran ini akan dianalisis menggunakan teori desekuritisasi, di mana isu dipindahkan dari kerangka 'keamanan' dan kembali ke lingkup 'normal' politik. Keamanan di sini adalah kemampuan otoritas kedaulatan untuk menggunakan tindakan darurat dalam menangani ancaman. Sebaliknya, politik normal berarti masalah tersebut menjadi bagian dari kebijakan publik dan ditangani dalam batas-batas ruang publik. Kondisi desekuritisasi mencakup dekonstruksi-rekonstruksi identitas, membuat undang-undang baru mengenai isu-isu sensitif dan pelebaran aktor.
Tesis ini berpendapat bahwa masalah Kurdi di desekuritisasi melalui tiga peristiwa yang diberlakukan oleh pemerintah Turki: (1) pidato Erdogan pada tahun 2005, di mana seorang politisi Turki secara terbuka mengakui keberadaan isu Kurdi, (2) Pembukaan Kurdi tahun 2009, di mana reformasi hukum dan serangkaian inisiatif diberlakukan untuk mengembalikan hak-hak Kurdi, (3) Proses Oslo di 2012-2013, di mana pembicaraan terbuka antara pemerintah Turki dan perwakilan Kurdi berlangsung.