Abstract:
Kedatangan kaum Philistines 1.200 tahun sebelum Masehi (SM) di Kanaan merupakan awal mula terjadinya konflik perebutan wilayah antara Palestina dan Israel. Kedua negara memiliki dasar klaim masing-masing atas kepemilikan wilayah Kanaan yang saat ini merupakan wilayah Palestina. Serangkaian upaya perdamaian telah dilakukan oleh kedua negara, namun belum memberikan hasil yang signifikan. Salah satu hal yang menghambat proses perdamaian adalah pergantian puncak kepemimpinan di dalam negeri Palestina yang diwarnai dengan konflik antara Fatah dan Hamas yang merupakan dua partai politik terbesar di negaranya. Perbedaan ideologi dan sikap antara Fatah dan Hamas terhadap Israel membuat kebijakan luar negeri Palestina terhadap Israel berbeda dari masa ke masa yang pada akhirnya mempengaruhi proses perdamaian. Penelitian ini dibuat dengan rumusan pertanyaan penelitian “Bagaimana konflik antara Fatah dan Hamas berperan dalam proses perumusan kebijakan luar negeri Palestina terhadap Israel?” Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, penulis menggunakan konsep Struggle of Power milik Realisme Klasik sebagai pedoman serta didukung oleh beberapa teori seperti Protracted Social Conflict milik Edward Azar, Empat Ciri Khas Konflik milik Hugh Miall, dan Domestic Determinants milik Howard Lentner. Penulis menggunakan metode deskriptif dimana penulis melakukan pengumpulan data melalui wawancara serta studi literatur. Berdasarkan analisis yang telah dibuat, penulis menghasilkan satu penemuan, yaitu pergantian kekuasaan di dalam negeri Palestina mempengaruhi kebijakan luar negeri yang dibuat. Selama dibawah kepemimpinan Fatah, kebijakan Palestina terhadap Israel cenderung lunak dan terbuka terhadap negosiasi. Hal tersebut dibuktikan dengan terciptanya Perjanjian Oslo I, Perjanjian Oslo II, dan Pertemuan Camp David. Sebaliknya sejak 2006, kebijakan luar negeri yang dibentuk oleh Hamas menjadi keras terhadap Israel dan sangat berorientasi pada keuntungan mutlak bagi Palestina dan bukan berorientasi pada terciptanya perdamaian. Hal tersebut dibuktikan dengan kebijakan Hamas yang menyebutkan akan mengakui Israel dengan syarat pengembalian wilayah Palestina seperti sebelum Perang Enam Hari (Six Days War) berlangsung tahun 1967. Hal ini tentu sulit dipenuhi oleh Israel. Kondisi yang sedemikian rupa membuat perdamaian diantara keduanya sulit terwujud.