dc.description.abstract |
Arab Spring merupakan sebuah fenomena yang menjadi perbincangan dikalangan akademisi Hubungan Internasional. Gelombang Arab Spring diawali dengan revolusi Jasmine yang terjadi di Tunisia dan kemudian menyebar ke negara-negara di kawasan Arab lainnya. Kediktatoran Ben Ali selama lebih dari dua puluh tahun akhirnya membuat masyarakat Tunisia memberontak dan berhasil menurunkan Ben Ali dari jabatan kepresidenannya.
Revolusi Jasmine yang terjadi di Tunisia ini tidak terlepas dari upaya masyarakat dalam media sosial. Masyarakat Tunisia yang selama ini tidak diizinkan untuk menyuarakan pendapatnya secara bebas menemukan wadah baru untuk menyuarakan pendapat dan menjadi alat penggerak revolusi yang berhasil digunakan oleh masyarakat Tunisia. Media sosial berhasil membuat aktor-aktor non negara seperti LSM, aktivis, bahkan individu memiliki power untuk mencapai tujuannya. Dalam kasus revolusi Jasmine, tujuan tersebut adalah untuk menurunkan Ben Ali. Dari paparan ini, penulis akan menjawab perumusan masalah “Bagaimana masyarakat Tunisia memanfaatkan media sosial sebagai alat revolusi dalam kasus revolusi Jasmine ?”
Penulis menemukan bahwa media sosial berhasil menjadi alat penggerak dalam revolusi Jasmine yang digunakan oleh masyarakat Tunisia pada masa pemerintahan Ben Ali. Kondisi ekonomi, politik dan sosial yang menekan masyarakat memang menjadi hal yang membuat masyarakat ingin menggulingkan Ben Ali, namun media sosial berhasil menjadi alat untuk menyuarakan pendapat, dan mengorganisir pergerakan. Selain itu, media sosial juga digunakan oleh pihak eksternal untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi kepada masyarakat Tunisia, sehingga masyarakat Tunisia berharap nilai-nilai demokrasi bisa diaplikasikan secara nyata setelah Ben Ali turun dari jabatannya. |
en_US |