dc.description.abstract |
Seiring dengan perkembangan teknologi, model bisnis pun turut berkembang. Perdagangan yang semula hanya dilakukan secara konvensional perlahan beralih menjadi transaksi bisnis yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (e-commerce). Akan tetapi, pengenaan pajak atas transaksi e-commerce saat ini masih sulit diterapkan. Alasannya yaitu karena sifat transaksi e-commerce yang tanpa batas bahkan mampu menembus batas-batas negara sehingga sulit mendeteksi transaksi e-commerce terutama transaksi yang terjadi lintas negara.
Dalam rangka mencari jawaban atas permasalahan di atas, peneliti melakukan perbandingan kebijakan perpajakan atas transaksi e-commerce antara Indonesia dengan negara lain seperti Singapura, Jepang, Cina, Korea Selatan, dan India. Peneliti juga melakukan tax review terhadap perusahaan yaitu Toko Bayi ABC yang memanfaatkan e-commerce dalam melakukan penjualan dalam bentuk online retail serta melakukan wawancara dengan salah satu KPP yaitu KPP Pratama Bandung Cibeunying mengenai permasalahan perpajakan atas transaksi e-commerce.
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode deskriptif analisis. Adapun langkah-langkah yang telah dilakukan peneliti adalah melakukan tax review terhadap Toko Bayi ABC dan melakukan wawancara dengan perwakilan dari KPP Pratama Bandung Cibeunying. Analisis data juga ditunjang oleh data sekunder yaitu kebijakan perpajakan transaksi e-commerce di Indonesia, kebijakan perpajakan transaksi e-commerce di Singapura, kebijakan perpajakan transaksi e-commerce di Jepang, kebijakan perpajakan transaksi e-commerce di Cina, kebijakan perpajakan transaksi e-commerce di Korea Selatan, dan kebijakan perpajakan transaksi e-commerce di India.
Hasil dari penelitian ini adalah kebijakan perpajakan transaksi e-commerce di Singapura adalah dengan mempertimbangkan sumber penghasilan dan tempat host service provider yang digunakan, di Jepang yaitu dengan membentuk PROTECT (Professional Team for E-Commerce Taxation ) untuk melakukan pemeriksaan kewajiban perpajakan transaksi e-commerce, di Cina yaitu dengan memegang hak tunggal atas penerbitan sertifikat elektronik oleh pemerintah dan penerbitan electronic invoice harus dengan aplikasi yang disediakan pemerintah, di Korea Selatan yaitu dengan membentuk KFTC (Korea Fair Trade Commission) untuk mengawasi seluruh transaksi elektronik di Korea Selatan dengan system pemungutan official assessment, di India yaitu dengan perumusan kebijakan EQL (Equalization Levy), dan di Indonesia yaitu dengan Surat Edaran Dirjen Pajak di Indonesia yang menegaskan tidak ada perbedaan kewajiban perpajakan antara wajib pajak e-commerce dan wajib pajak non e-commerce. Berdasarkan tax review yang dilakukan terhadap Toko Bayi ABC, dapat ditarik kesimpulan bahwa Toko Bayi ABC belum memenuhi kriteria sebagai wajib pajak yang patuh. Indonesia masih memiliki kendala dalam penerapan aturan perpajakan e-commerce, di antaranya yaitu kepatuhan wajib pajak e-commerce masih rendah, kekurangan staf pemeriksa, dan kurang didukung oleh IT yang memadai, SDM yang mumpuni, dan kebijakan perpajakan yang belaku saat ini. Indonesia dapat menerapkan metode perpajakan EQL seperti di Negara India namun sistem EQL memiliki kelemahan yaitu tidak dapat dijadikan kredit pajak di nergara lain. Maka dari itu, peneliti menyarankan pemerintah Indonesia untuk merevisi undang-undang terkait BUT dan mempersiapkan IT serta SDM yang memadai seperti di Negara Singapura dan Cina untuk memungut pajak atas e-commerce di Indonesia. |
en_US |