Abstract:
Sejak awal eksistensinya, kekristenan sering diasosiasikan dengan ‘mukjizat penyembuhan’. Yesus sendiri, bersama para murid-Nya, kerapkali menyelenggarakan penyembuhan sebagai tanda hadirnya Kerajaan Allah dalam dunia, bahkan dalam pribadi yang disembuhkan. Ketertarikan dan kepercayaan yang meluas akan mukjizat penyembuhan jasmaniah maupun rohaniah, pada hakikatnya, tidak mendegradasi martabat luhur iman Kristiani. Sebaliknya, fenomena yang semakin populer ini dapat menolong Gereja mempertahankan eksistensinya dan mengartikulasikan ulang relevansinya bagi umat beriman. Akhir-akhir ini, jumlah kelompok-kelompok ‘penyembuhan ajaib’ itu, baik di luar maupun di dalam lingkungan Gereja, semakin merebak dan berpotensi mengaburkan iman. Karena urgensi inilah, Gereja hendaknya berusaha menyelidiki sedalam mungkin hakikat penyembuhan ini, terutama guna menghindarkan umat dari kesesatan. Dalam pemahaman Kristiani sendiri, mukjizat penyembuhan hanya dapat terjadi karena kuasa atau campur tangan Allah. Berbagai usaha manusia untuk menyembuhkan dipandang tidak berfaedah jika Allah tidak menghendakinya. Oleh karena itu, penyembuhan selalu mengarah kepada iman akan Allah yang mencintai dan menyelamatkan. Akan tetapi, untuk memperoleh penyembuhan total, manusia juga harus tetap mengusahakannya secara optimal. Misalnya, dengan berdoa tidak jemu-jemu, berekonsiliasi dengan Allah, diri sendiri, dan sesama, serta berkomitmen untuk bertobat atau mengubah perilaku atau kebiasaan yang tidak sehat. Tulisan ini berusaha untuk memberikan penjelasan yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk memahami hakikat penyembuhan dan cara-cara meraihnya, serta bagaimana melaksanakan pelayanan penyembuhan secara tepat.