dc.description.abstract |
Perbudakan seksual terhadap perempuan Korea Selatan yang dilakukan militer Jepang pada masa Perang Dunia ke-II, atau yang lebih dikenal dengan fenomena comfort women, membuat Jepang mendapatkan tuduhan sebagai negara pelaku kejahatan kemanusiaan. Penelitian ini menganalisis upaya-upaya diplomasi Jepang di bawah Pemerintahan Shinzo Abe tahun 2012-2015 untuk menyelesaikan isu comfort women dengan Korea Selatan. Analisis menggunakan lima indikator permohonan maaf negara yang lengkap yaitu disampaikan oleh representasi resmi negara, adanya penyusunan dan pengakuan fakta sejarah, pertanggungjawaban atas kesalahan, menunjukkan ketulusan, penyesalan, dan empati, serta menunjukkan komitmen untuk tidak mengulang kembali kesalahan. Penelitian menunjukkan Jepang hanya memenuhi 2 (dua) dari 5 (lima) unsur permohonan maaf yang lengkap yaitu disampaikan oleh representasi resmi negara dan menunjukkan komitmen untuk tidak mengulang kembali kesalahan. Diplomasi Jepang tidak didasari oleh niat tulus untuk meminta maaf, melainkan dipengaruhi kepentingan politik untuk memperbaiki citra internasional Jepang yang tercoreng akibat kejahatan perang. Namun demikian, Jepang juga harus berusaha menghindari reaksi negatif dari kaum konservatif domestik yang kontra terhadap penyelesaian isu comfort women. Akibat pertentangan antara kedua kepentingan, upaya-upaya diplomasi Jepang hanya bersifat setengah hati. Permohonan maaf tetap diberikan untuk mencapai kepentingan Jepang dalam politik internasional, walaupun banyak aspek dalam sebuah permohonan maaf tersebut yang tidak dipenuhi untuk mengakomodir kepentingan domestik Jepang. Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa dalam diplomasi dan permohonan maaf negara, kepentingan nasional menjadi hal yang paling penting untuk diwujudkan dibanding dengan kepentingan lain seperti penegakan HAM ataupun perbaikan citra negara. |
en_US |