Abstract:
Pada tahun 2012, dunia internasional dikejutkan oleh tidak dihasilkannya komunike bersama pada AMM ke-45 untuk pertama kali dalam 45 tahun berdirinya ASEAN. Dalam peristiwa yang disebut sebagai “Phnom Penh Fiasco” itu, ASEAN tidak menemui konsensus di antara negara anggotanya, secara khusus disebabkan oleh Kamboja yang mengambil posisi berbeda dari negara anggota lainnya. Dengan menggunakan pendekatan Konstruktivisme, penelitian kualitatif ini memahami latar belakang penolakan Kamboja terhadap pembentukan posisi bersama ASEAN terkait isu Laut China Selatan dalam ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) ke-45 pada bulan Juli 2012.
Dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat dua latar belakang penolakan Kamboja yang perlu dipahami menggunakan aspek historis dan aspek sosiologis. Pertama, penolakan Kamboja merupakan suatu bentuk usaha Kamboja untuk menjaga hubungan patron-client dengan China yang dipersepsikan sebagai pelindungnya. Persepsi Kamboja terhadap China sebagai negara pelindung dibangun dari interaksinya dengan Thailand dan Vietnam, serta interaksinya dengan China itu sendiri. Kedua, penolakan Kamboja juga dapat dipahami dengan melihat posisi Kamboja di ASEAN, di mana Kamboja mempelajari kegagalan ASEAN dalam menengahi sengketa Candi Preah Vihear sebagai sinyal bahwa ASEAN tidak dapat menjamin keamanan nasionalnya. Dalam konteks ini, persepsi Kamboja atas ASEAN dan China penting untuk menentukan posisi Kamboja di Laut China Selatan.
Kajian atas penolakan Kamboja ini memperkuat pandangan Amitav Acharya bahwa ASEAN merupakan komunitas keamanan pluralistik yang bersifat nascent. Hal ini terlihat dari masih adanya persepsi ancaman di antara negara anggota ASEAN, absennya tindakan kolektif atau kebijakan keamanan yang terkoordinasi dalam ASEAN sebagai indikasi rendahnya “we-feeling”, serta ketidakmampuan ASEAN untuk menjadi institusi yang dapat menengahi sengketa di antara negara anggotanya.