Abstract:
Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian dari penelitian mengenai apa dampak dari kompetisi AS-China di Laut China Selatan terhadap kebijakan luar negeri Indonesia. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif, dengan menggunakan teori balance of power oleh Kenneth Watz, diikuti dengan teori balance of threat yang dikemukakan oleh David Novotny dan Stephen M. Walt. dan konsep hedging oleh Leah Sherwood.
China semenjak dibawah kepemimpinan Deng Xiaoping telah bertransformasi menjadi sebuah negara dengan kekuatan besar yang dapat menyaingi pengaruh AS, khususnya di Asia. Persaingan AS-China di berbagai bidang akhirnya memasuki fase proxy war di Laut China Selatan. China melihat Laut China Selatan adalah jalan menuju masa depannya sebagai sebuah kekuatan global, sementara AS yang telah menancapkan pengaruhnya di Asia Tenggara sejak akhir Perang Dunia II melihat upaya China ini mengancam pengaruhnya di Asia Tenggara. Kedua negara bahkan sempat terlibat dalam bentrokan dalam beberapa kejadian di Laut China Selatan akibat perbedaan kepentingan mereka, walaupun belum sampai menjadi konflik terbuka.
Sementara, Indonesia sebagai salah satu pemain utama di Asia Tenggara merasa kehadiran militer China dan AS di Asia Tenggara mengancam perdamaian dan keharmonisan di Asia Tenggara. Indonesia sebagai pemimpin alami ASEAN merasa perlu untuk terlibat dalam mengatur kembali keseimbangan antara China dan AS. Berdasarkan persepsi Indonesia, China sekarang menjadi ancaman bagi kestabilan di Asia Tenggara, sehingga secara alami akan mendekat ke AS. Tetapi, Indonesia juga memiliki pengalaman buruk dengan AS membuat Indonesia juga berhati-hati dalam mendekatkan diri ke Washington. Selain itu, China sebagai kekuatan ekonomi kedua setelah AS dengan tawaran-tawaran bantuan ekonomi China adalah sesuatu yang sulit untuk ditolak bagi Indonesia. Penulis tertarik untuk meneliti dampak rivalitas China dan AS terhadap kebijakan luar negeri Indonesia dalam upaya memaksimalkan kepentingan nasional Indonesia.