Abstract:
Setiap insan beragama sedang dalam perjalanan spiritual demi merengkuh
suatu nilai terdalam kehidupan yang dirindukannya. Puncak perjalanan spiritual itu
adalah menemukan dan merasakan keakraban dengan Allah, mengalami kuasa dan
kasih-Nya, yang lantas membuat hidup ini terasa berarti, bermakna, damai, tentram
dan terus diperjuangkan agar terasa lebih hidup lagi. Dalam rangka itu, insan
beragama beribadah dan memaknai ibadahnya sebagai "demi kemuliaan dan
keluhuran Allah semata".
Kemuliaan dan keluhuran Allah memang menjadi pretensi prior ibadah insan
beragama. Namun, agar ibadah tidak berdimensi vertikal saja (berhenti pada tataran
penghayatan dalam bentuk doa, pantang, puasa dan lain-lain), perlu dimensi
horisontal juga, yakni perwujudan iman dalam karya nyata kepada sesama, dalam
relasi setaraf yang kondusif, konstruktif dan proaktif, juga dalam sharing pengalaman
iman dengan sesama umat beriman kepada Allah. Artinya, bagaimana sikap dan
perilaku saya sebagai insan beragama terhadap sesama saya, baik dengan yang
seagama maupun dengan yang berbeda agama.
Kondisi hidup bermakna (keselamatan jiwa dan raga, hidup damai dan
sejahtera, persaudaraan lintas agama, etnis, dan budaya) adalah visi semua agama.
Para tokoh agama mengajarkan visi itu, dan menjadikannya program aksi (misi)
agama. Visi yang diaplikasikan dalam misi itu merupakan kualitas terdalam nilai-nilai
spiritual yang termuat di dalam Kitab Suci. Oleh karena itu, pendidikan agama
sejatinya adalah pendidikan nilai-nilai ilahi-insani, sebab menghantar orang untuk
semakin mengasihi dan memuliakan Allah di atas segala-galanya, dan menjadi
saudara bagi sesamanya. Maka pretensi pendidikan agama, antara lain, adalah
penghayatan dan perwujudan iman demi kondisi hidup yang manusiawi.
Pretensi pendidikan agama itu sebetulnya selaras dengan tujuan Geladi Diri
Spiritual sebab tekanannya adalah membentuk manusia beragama menjadi pribadi
yang matang atau dewasa dalam menghayati spiritualitas agamanya. Dengan
demikian, ia mampu menjadi pribadi yang toleran menghormati dan menghargai
orang lain, menjalin kerjasama lintas agama, merancang bersama kegiatan-kegiatan
sosial yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan. Pribadi demikian berani mengakui
keberadaan dan identitas masing-masing pihak yang memang berbeda.