dc.description.abstract |
Kekerasan tidak hanya digeluti dengan pendekatan sosiologis, politis, ekonomis atau anthropologis.
Melengkapi pendekatan terse but, kekerasan sebagai fenomena manusia didekati pula dari perspektif
filosofis. Sebagai fenomena manusia, kekerasan tidak hanya berkaitan dengan sistem ekonomi, politik,
budaya dan sosial; juga tidak hanya berkaitan dengan struktur sosial. Kekerasan terjadi juga pada
wilayah kultural. Kekerasan kultural menuntun kita masuk pada wilayah internal manusia, yakni pada
ranah kesadaran dan ketaksadaran. Karena itulah, kajian terhadap kekerasan kultural membutuhkan
pula pendekatan filosofis: salah satunya pendekatan hermeneutika. Kajian hermeneutik akan
menelusuri pola-pola berpikir yang mempengaruhi pemikiran dan kesadaran individual dan kolektif
sedemikian rupa sehingga Opsi yang dinyatakan ialah agenda dan praksis kekerasan. Pola berpikir yang
dimaksud berkaitan dengan paradigma negatif. Paradigma negatif ini berkaitan dengan pola pikir yang
terjajah (colonized mind). Pola pikir tersebut dapat dicermati melalui ungkapan verbal yang bersifat
diametrikal seperti pribumi dan non-pribumi, asli dan pendatang. Preferensi pada paradgima negatif ini
cenderung mendorong pilihan untuk melakukan kekerasan kultural, yang tampil baik dalam sistem dan
struktur sosial. Dalam penelitian filosofis ini, kami memilih kasus kekerasan terhadap orang Tionghoa
Indonesia sebagai konteks medan penelaahan epistemologis terhadap kekerasan kultural. Telaah
epistemologi dalam rekaman sejarah kasus kekerasan terhadap orang Indonesia ini mencoba menyoroti
preferensi pada negativitas sebagai salah satu akar fenomena kekerasan. Penelitian ini juga berupaya
menawarkan paradigma afirmatif, sebagai wacana bagi preferensi opsi kepada pembentukan paradigma
dan praksis yang mengutamakan pendekatan tanpa-kekerasan.
Kata kunci: kekerasan kultural, Tionghoa Indonesia, hermeneutika kecurigaan, Paradigma negatif, pola
pikir yang terjajah, paradigma afirmatif. |
en_US |