Abstract:
Pada tataran Filsafat Hukum, kajian tentang peran penting hermeneutika terhadap hukum telah
sangat berkembang. Meskipun demikian, pada tataran yang lebih konkrit, yaitu pada ranah Teori
Hukum, Ilmu Hukum, terutama penafsiran hukum oleh hakim, hermeneutika masih harus
ditelaah lebih jauh dan terperinci. Melalui pembahasan atas putusan perkara pengujian undang-undang
oleh Mahkamah Konstitusi, kajian ini menelusuri titik temu antara hermeneutika dan
penafsiran hukum, dalam rangka memastikan bagaimana hermeneutika dapat berperan di tataran
yang lebih konkrit.
Dari hasil penelusuran ditemukan bahwa beberapa konsep dari Hermeneutika Metodologis,
Hermeneutika Filosofis, Hermeneutika Kritis dan Hermeneutika Reflektif ternyata telah tercakup
dalam upaya penafsiran oleh hakim konstitusi. Ini menunjukkan bahwa di bidang hukum
hermeneutika bukan merupakan bentuk penafsiran baru. Di sisi lain, keberadaan hermeneutika
dalam penafsiran hukum belum termanfaatkan lebih jauh. Terdapat konsep-konsep hermeneutika
seperti Wirkungsgescichte, Depth Hermeneutics (Hermeneutika Kedalaman), dan Hermeneutical
Arc, yang dapat membantu hakim konstitusi untuk menjernihkan makna ketika menafsirkan
seluruh dalil dalam pengujian undang-undang.
Kajian ini meletakan hermeneutika dan penafsiran hukum sebagai objek sekaligus metode.
Keduanya dibedah terlebih dahulu dalam rangka menyusun ‘alat’ (tools), dan alat ini kemudian
digunakan untuk menganalisis objek konkret kajian berupa putusan perkara pengujian undangundang
oleh Mahkamah Konstitusi, dengan tujuan memperoleh peran dan titik temu antara
hermeneutika dan penafsiran hukum.
Menempatkan hermeneutika dalam praksis hukum berarti mempertemukan ranah filosofis
dengan sisi praktis hukum yang berkarakter sangat spesifik. Di ranah filsafat, hermeneutika
dapat bergerak sangat leluasa dan bebas dalam mengeksplorasi kemungkinan maknawi. Di
bidang hukum, hermeneutika harus berhadapan dengan otoritas, nilai-nilai yang menyangkut
kepentingan masyarakat, dan terutama nasib hidup seseorang. Di ranah filsafat hermeneutika
berada dalam kerangka postmodernisme yang non-positivistik, sedang di tataran hukum ia justru
harus masuk ke dalam kerangka modernisme yang bertendensi positivistik. Perbedaan konteks
itu menyebabkan relevansi hermeneutika di bidang hukum menjadi terbatas juga.