Abstract:
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) disusun
untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku
usaha yang sampai saat ini masih dalam posisi yang tidak seimbang. Secara yuridis,
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya keadilan dan
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Salah satu upaya
perlindungan konsumen ini diwujudkan melalui cara penyelesaian sengketa konsumen,
baik melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi), dengan
menciptakan keadilan dalam proses berperkara. Dengan menggunakan konsep keadilan
prosedural (keadilan hukum) yang dikemukakan oleh Plato, yaitu dengan memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, maka hakim berperan besar untuk
mengendalikan jalannya proses persidangan. Konsep keadilan ini selaras dengan apa
yang dikemukakan oleh Isaiah Berlin melalui pernyataannya justice is done when equals
are treated equally and unequals unequally (keadilan terlaksana apabila hal-hal yang
sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak
sama).
Untuk menerapkan konsep ini dalam praktek, maka para hakim sebagai pemberi
keputusan dalam penyelesaian sengketa konsumen secara litigasi, para arbiter,
mediator atau konsiliator sebagai pemberi keputusan dalam penyelesaian sengketa
konsumen secara non litigasi, dituntut untuk mengendalikan jalannya proses
persidangan atau proses perundingan dengan mempertimbangkan posisi para pihak.
Dengan persidangan yang dikendalikan ini, maka akan dapat diwujudkan keadilan
secara seimbang antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka usulan tentang pembentukan
pola penyelesaian sengketa konsumen secara perdata sebagai upaya pelaksanaan
UUPK adalah sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa konsumen secara perdata melalui pengadilan, dilakukan
dengan pola Mediation Connected Court;
2. Penyelesaian sengketa konsumen secara perdata di luar pengadilan, dilakukan
melalui BPSK, dengan pola Mediation- Arbitration (Med-arb).
Untuk dapat menerapkan pola ini dalam praktek, maka:
1. Dituntut kejujuran dan tanggung jawab dari para pihak untuk selalu bersedia
melaksanakan putusan atas sengketa konsumen yang diselesaikan secara litigasi
maupun non litigasi;
2. Harus terdapat pengakuan yang sama terhadap lembaga peradilan dengan lembaga
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, artinya kedua lembaga
tersebut harus dipandang sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang
sejajar.
Apabila konsep ini dapat dilaksanakan, maka diharapkan apa yang menjadi tujuan dan
harapan UUPK akan tercapai.