Abstract:
Penderitaan selalu ada dalam kehidupan manusia. Keberadaan penderitaan yang tidak kunjung hilang menjadikan manusia terus meneerus berefleksi soal makna eksistensi dirinya di dunia. Hal ini membuat Eksistensi diri menjadi bahan yang selalu menarik perhatian untuk dibicarakan terutama dalam ruang lingkup filsafat Barat. Tema-tema eksistensialis seperti kontingensi, keberadaan diri, makna-makna keberadaan, keterasingan diri, keberadaan realita terus-menerus dikaji dan didalami untuk mencapai makna-makna tertinggi dalam temporalitas kehidupan manusia. Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda ketika kita melihat konsep eksistensi diri dari kacamata filsafat timur. Filsafat Timur lewat Abhidhamma dalam Buddhisme menawarkan paham eksistensi diri yang khas dan unik. Buddhisme menyebut eksistensi diri yang sebenarnya sebagai “bukan-diri” (Anattā). Masih banyak manusia yang berada dalam ketidaktahuan akan konsep ini. Ketidaktahuan yang dimaksud adalah memegang teguh “diri” dalam kehidupan mereka sehingga penderitaan terus menerus membelenggu. “Bukan-diri” (Anattā) diaplikasikan oleh Buddhisme untuk terlepas dari penderitaan. Tradisi filosofis yang digunakan untuk memahami “bukan-diri” adalah Theravāda dan Sarvāstivāda Abhidhamma. “Bukan-diri” terbentuk dalam saling ketergantungan lima unsur proses yakni proses tubuh dan proses mental (Sensasi, Persepsi, Dorongan untuk bertindak dan kesadaran). Kelima unsur proses ini tidak mampu berdiri sendiri (saling ketergantungan) dan tidak pernah menetap (selalu berubah-ubah). Akan tetapi, dibalik segala hal yang tidak menetap dan selalu berubah, ada satu pembentuk yang akan selalu menetap dan bertahan dalam waktu yakni eksistensi tertinggi (dhamma). Untuk bisa memahami dan mengalami konsep “Bukan-diri” manusia harus mampu melaksanakan latihan pemusatan perhatian dan pikiran. Dengan latihan ini, manusia dimampukan untuk mengaplikasikan “bukan-diri” dalam kehidupannya dan terlepas dari penderitaan.