dc.description.abstract |
Gerakan #MeToo dimulai di negara Amerika Serikat dan berhasil berkembang menjadi
suatu gerakan sosial global dengan bantuan globalisasi, media sosial, dan jurnalisme.
Sebagai gerakan sosial yang cenderung merepresentasikan pengalaman kehidupan sebagai
perempuan, gerakan ini berhasil menarik perhatian masyarakat dunia, tak terlepas negara
Korea Selatan. Korea merupakan negara dengan budaya patriarki yang masih kuat, dan ini
menjadi salah satu penyebab adanya penolakan terhadap gerakan feminis seperti #MeToo
di negara tersebut. Masalah dalam penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa terlepas dari
adanya penolakan yang cukup keras dari masyarakat terhadap para feminis, #MeToo dapat
berkembang pesat di Korea Selatan dan membawa banyak perubahan positif mulai dari
kehidupan penyintas hingga perubahan institusional dalam negara. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengeksplorasi pemanfaatan politicized collective identity dalam gerakan
#MeToo di Korea Selatan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan:
“Bagaimana politicized collective identity dimanfaatkan dalam gerakan sosial #MeToo di
Korea Selatan tahun 2018-2020?”. Tulisan ini menganalisis kasus tersebut dengan
menggunakan teori-teori gerakan sosial dan teori politicized collective identity dalam
psikologi politik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus serta
menggunakan data-data sekunder seperti dokumen resmi pemerintah, laporan, artikel pada
media massa, dan sumber-sumber internet yang valid. Dalam penelitian ini ditemukan
setidaknya 4 (empat) jenis identitas-identitas kolektif yang dipolitisasi, yaitu 1) identitas
sebagai penyintas, 2) identitas sebagai pekerja, 3) identitas sebagai perempuan, dan 4)
identitas sebagai feminis. Keempat politicized collective identity tersebut kemudian
dimanfaatkan sebagai motivasi partisipan gerakan #MeToo untuk tetap beraksi dan sebagai
salah satu aspek untuk menangkal aksi kelompok anti-feminis. |
en_US |