Abstract:
Suriyothai dinobatkan sebagai ikon feminisme Thailand, dimana terdapat
patung dirinya yang sedang mengendarai gajah sebagai dedikasi akan pengorbanan
yang dilakukan oleh Suriyothai demi menjaga identitas nasional kerajaannya dari
invasi pihak asing. Suriyothai sendiri mengalami berbagai hambatan sebagai seorang
perempuan yang lahir di keluarga kerajaan. Salah satunya, Suriyothai harus
mengikuti perjodohan dan membuat kedudukannya sebagai perempuan pemberani
mulai terancam. Demi kecintaan terhadap negaranya, ia pun rela menjalani
perjodohan tersebut dan melakukan banyak pengorbanan sebagai istri, pemimpin, dan
ratu. Kehidupan Suriyothai ditangkap dalam film The Legend of Suriyothai (2001),
melalui penerusnya, Ratu Sirikit, ia ingin mengenalkan cerita Suriyothai terhadap
masyarakat Thailand dan masyarakat internasional. Dengan pesan yang ingin
disampaikan Ratu Sirikit, muncul pertanyaan penelitian, Bagaimana propaganda
dalam film The Legend of Suriyothai dapat mempengaruhi gerakan feminisme pada
pemerintahan di Thailand? Melalui teori media sebagai propaganda, The Six Rule
oleh William Murch serta feminisme liberal oleh Alison Jaggar dan Jean Bethke
Elshtain , film The Legend of Suriyothai belum dapat memenuhi perannya sebagai
media propaganda untuk mempengaruhi gerakan feminisme di pemerintahan
Thailand. Walaupun mereka sudah menjadikan Suriyothai sang ikon feminisme
Thailand sebagai kajian utama dalam filmnya. Ketidaksetaraan perempuan di
Thailand belum dapat terpenuhi. Dimana Thailand sendiri terus memimpikan sosok
pemimpin di Thailand yang dapat mengambil nilai-nilai kepemimpinan Suriyothai.