dc.description.abstract |
Meskipun negara Indonesia terletak pada posisi yang strategis yakni di jalur
perdagangan dunia, nyatanya ekonomi negara ini masih terhambat akibat lemahnya
pembangunan infrastruktur. Indonesia masih harus menghadapi masalah
pembebasan lahan, perencanaan dan persiapan proyek, faktor sumber daya
manusia, hingga persoalan yang paling utama yakni keterbatasan biaya. Dalam
mengatasi masalah ini, Presiden Joko Widodo melakukan kerjasama dengan Jepang
dan Tiongkok untuk membantu pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dengan
tawaran yang diberikan Jokowi, Indonesia menjadi tempat baru bagi Jepang-
Tiongkok untuk bersaing dalam pembiayaan infrastruktur. Pembiayaan
infrastruktur Jepang-Tiongkok dilakukan melalui sebuah badan yang dibentuk oleh
masing-masing pemerintah yakni JICA dan BRI. Dalam pelaksanaannya,
infrastruktur JICA di Indonesia yakni MRT mendapat pendanaan dari ODA.
Sedangkan, infrastruktur BRI di Indonesia yakni Kereta Cepat Jakarta-Bandung
mendapat pendanaan dari bank milik negara Tiongkok yakni CDB. Melihat
perbedaan tersebut, penelitian ini dibuat untuk mengetahui perbedaan penawaran
Jepang dan Tiongkok dalam membiayai proyek infrastruktur di Indonesia. Terbukti
terdapat beberapa perbedaan dalam skema pembiayaan yang diberikan oleh Jepang-
Tiongkok, mulai dari skema G to G dan B to B, tenggat waktu, dan besarnya bunga.
Melalui analisis menggunakan teori infrastruktur, terlihat bahwa Indonesia sadar
bahwa pembangunan infrastruktur akan berdampak bagi efisiensi ekonomi,
pemerataan, dan lingkungan dalam jangka waktu yang panjang. Sedangkan melalui
teori utang luar negeri, pinjaman Indonesia dilakukan karena domestic saving
negara tidak mampu mencukupi pembiayaan infrastruktur. Selain itu, teori ini juga
melihat walaupun jumlah nominal utang dan bunga yang diberikan Jepang dan
Tiongkok berbeda, nyatanya pinjaman utang masih memberikan dampak positif
pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. |
en_US |