Perdagangan manusia di Asia Tenggara : studi kasus Cybersex Trafficking di Filipina tahun 2009 - 2020

Show simple item record

dc.contributor.advisor Dwikardana, Sapta
dc.contributor.author Riefi, Claudine
dc.date.accessioned 2023-05-10T02:52:49Z
dc.date.available 2023-05-10T02:52:49Z
dc.date.issued 2022
dc.identifier.other skp42986
dc.identifier.uri http://hdl.handle.net/123456789/15057
dc.description 10062 - FISIP en_US
dc.description.abstract Sebagai global hotspot untuk perdagangan seks cyber dan eksploitasi seksual anak secara daring, kejahatan ini sangat lazim terjadi di Filipina. Melihat banyaknya kasus ini terjadi, pada level domestik, tahun 2009 Filipina mengeluarkan Undang-Undang anti ponrografi anak, lalu Undang-Undang pencegahan kejahatan cyber pada tahun 2012. Pada level internasional, Filipina membentuk Philippines Internet Crimes Against Children Center (PICACC) bersama dengan Australia, Britania Raya, dan juga organisasi non-pemerintah International Justice Mission. Terlepas dari berbagai upaya tersebut, masalah ini tetap menjadi suatu fenomena yang sering terjadi di Filipina. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian “Mengapa kasus perdagangan seks cyber di Filipina tidak mengalami penurunan meskipun berbagai respons telah dilakukan dalam level domestik dan internasional?” Untuk menjawab hal tersebut, penelitian ini akan menggunakan dua teori utama. Pertama, model implementasi kebijakan Hogwood dan Gunn sebagai alat bantu menganalisis respons Filipina. Kedua, teori aktivitas rutin Cohen dan Felson untuk menganalisis faktor pendorong munculnya peluang perdagangan seks cyber terjadi. Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif menggunakan studi kasus tunggal. Berdasarkan analisis yang dilakukan, ditemukan bahwa terdapat tiga faktor pendorong yang menyebabkan peluang perdagangan seks cyber di Filipina selalu muncul. Pertama, adanya para pelaku (trafficker) yang mengalami kemiskinan dan termotivasi untuk mendapatkan keuntungan, serta adanya pelanggan yang termotivasi mengejar kepuasan pribadi. Kedua, banyaknya anak di bawah umur yang mengalami kemiskinan, mempunyai kemampuan berbahasa inggris, serta ingin mencari teman dari dunia maya yang membuat mereka sangat rentan menjadi korban dalam industri ini. Ketiga, kurangnya pengawasan, baik dari orang tua terhadap anaknya, maupun dari lingkungan sekitar terhadap korban perdagangan seks cyber. Selain implementasi respons Filipina yang kurang maksimal, ketiga faktor ini lah yang sangat berpengaruh dan menyebabkan perdagangan seks cyber di Filipina tidak mengalami penurunan meski Filipina telah mengeluarkan respons dalam berbagai level. en_US
dc.language.iso Indonesia en_US
dc.publisher Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik - UNPAR en_US
dc.subject Perdagangan seks cyber en_US
dc.subject pornografi anak en_US
dc.subject eksploitasi seksual anak en_US
dc.subject secara daring en_US
dc.subject respons Filipina en_US
dc.subject kejahatan transnasional en_US
dc.title Perdagangan manusia di Asia Tenggara : studi kasus Cybersex Trafficking di Filipina tahun 2009 - 2020 en_US
dc.type Undergraduate Theses en_US
dc.identifier.nim/npm NPM6091801117
dc.identifier.nidn/nidk NIDN0423096101
dc.identifier.kodeprodi KODEPRODI609#Ilmu Hubungan Internasional


Files in this item

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record

Search UNPAR-IR


Advanced Search

Browse

My Account