Abstract:
Negara dianggap gagal jika tidak dapat menanggulangi deforestasi. Di Indonesia, laju deforestasi kian merenggut banyak sekali hutan dan lahan. Pemerintah menghasilkan banyak sekali upaya seperti kebijakan moratorium hutan primer dan lahan gambut untuk menanggulangiya. Banyak sekali pihak yang berpendapat bahwa kebijakan tidak efektif. Salah satunya adalah Greenpeace. Analisa Greenpeace menunjukkan bahwa pemerintah tidak transparan dalam data dan laju deforestasi justru meningkat dan terjadi di area moratorium. Lantas, usaha pemerintah patut dipertanyakan. Greenpeace kemudian menggantikan negara dalam melindungi hutan. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan, “bagaimana kontribusi Greenpeace dalam merespon kebijakan moratorium hutan primer dan lahan gambut sebagai solusi deforestasi di Indonesia.” Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan studi kepustakaan. Konsep yang digunakan adalah INGO dan kebijakan dalam environmental governance karya Sheila Jasanoff. Hasil penelitan menujukkan bahwa kontribusi Greenpeace dalam merespon kebijakan setidaknya menjalankan dua fungsi INGO dalam kebijakan yakni fungsi critics dan reframing serta technology transfer. Fungsi critcs and reframing menjelaskan bahwa Greenpeace mengktritik kebijakan pemerintah yang kemudian terlihat pada kontribusi kertas kebijakan bersama denan koalisi. Yang kedua adalah technology transfer yang menunjukkan fungsi Greenpeace dalam menggabungkan informasi tersedia dari sumber resmi dan informasi yang mereka kumpulkan sendiri. Hal ini terlihat pada kontribusi penyebaran informasi melalui situs resmi Greenpeace serta meluncurkan peta interaktif kepo hutan.