Abstract:
Kemampuan pihak-pihak berkonflik untuk berkompromi dari tujuan-tujuan mulanya demi terciptanya komitmen untuk perdamaian menjadi faktor krusial dalam proses resolusi konflik. Namun, kenyataannya adalah perception of way out dari Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia untuk sama-sama menyudahi konflik baru dicapai hampir 30 tahun setelah konflik berjalan. Dengan lamanya waktu yang dibutuhkan bagi pihak-pihak berkonflik dalam menemukan common perception untuk berdiskusi, pertanyaan penelitian diformulasikan: “bagaimana Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia berkompromi dan menjalankan proses resolusi konflik sebagai bentuk komitmen untuk menyudahi konflik berkepanjangan”. Dinamika konflik di Aceh sendiri disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya ekonomi, sosial, dan politik. Melalui fenomena-fenomena yang ada, penelitian ini akan mengkaji apa saja yang menjadi faktor-faktor pembangun terciptanya komitmen untuk menyudahi konflik. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana poin-poin kesepakatan antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia membantu peacemaking process dan menyelesaikan incompatibility of goals selama konflik berlangsung. Lebih daripada itu, akan melihat signifikansi mutually hurting stalemate dan perception of way out sebagai kunci momentum terlaksananya kompromi, dan peranan media internasional dalam menggiring pihak-pihak berkonflik untuk berdialog secara transparan dan berkelanjutan