dc.description.abstract |
Perang Saudara Suriah adalah konflik bersenjata yang sejak 2011 hingga masa penulisan skripsi ini, masih berlangsung. Sebuah pemerintah de facto telah mengontrol daerah Suriah Utara, yang juga dikenal sebagai Rojava. Negara kuasi ini dikelola oleh PYD, cabang dari gerakan Kemerdekaan Kurdi yang sejak awal tahun 1900-an telah mencoba untuk mendirikan negara bangsa yang berdaulat bagi rakyat Kurdi. Suku Kurdi adalah etnis minoritas yang asli dari wilayah tersebut dan secara bahasa dan budaya berbeda dari banyak kelompok etnis lain yang berasal dari Timur Tengah – dan dengan demikian, mereka memiliki struktur sosial yang unik. Salah satu sisi unik masyarakat Kurdi yang sudah lama dikagumi dan terbukti adalah betapa pentingnya perempuan dan peran mereka dalam masyarakat Kurdi. Penelitian ini dilakukan guna menjawa pertanyaan penelitian: ‘Peran apa yang dimainkan oleh gerakan kemerdekaan Kurdi di Suriah Utara untuk memfasilitasi pergeseran peran wanita dalam masyarakat?’ Perempuan Kurdi menikmati tingkat penghormatan yang relatif lebih tinggi di masyarakat dibandingkan dengan perempuan dari kelompok etnis lain di wilayah tersebut. Selama perang saudara, pemerintah yang berpusat di Rojava telah menurunkan ribuan tentara perempuan sukarelawan untuk bertempur, hal yang jarang terjadi di masyarakat Timur Tengah. Pemerintah Rojava juga telah mengimplementasikan undang-undang yang memberi perempuan lebih banyak wewenang dalam proses pengambilan keputusan komunal. Penelitian yang menggunakan teoritis konstruktivisme ini menemukan bahwa revisionisme budaya radikal dilakukan oleh PYD telah mengubah banyak aspek dari budaya dan struktur masyarakat Rojava. Gerakan revisionis budaya ini dimotivasi oleh perubahan sosial struktural, yang telah memfasilitasi pergeseran peran perempuan dalam masyarakat. |
en_US |