Abstract:
Dokter adalah profesi yang mulia atau officium nobile, dimana profesi dokter pada prinsipnya merupakan pengabdian kemanusiaan seseorang dalam bidang kesehatan tanpa pamrih. Filsuf Hippocrates yang dikenal dengan sumpah Hippocratesnya sangat dihormati oleh para dokter di seluruh dunia termasuk di Indonesia sampai saat ini. Setiap orang yang akan menjadi dokter akan di sumpah dan berikrar Lafal Sumpah Dokter. Hal ini berhubungan dengan etika dan moral profesi dokter dalam melakukan pekerjaannya yang sudah di atur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Membicarakan etika profesi kedokteran tidak terlepas dengan hubungan antara dokter dengan pasien dan farmasi. Ironisnya, hubungan dokter dan pasien ini diperburuk dengan adanya gratifikasi yang dianggap suap yang dilakukan perusahaan farmasi terhadap dokter dalam pelayanan medis di Indonesia. Kerjasama (KS) antara perusahaan farmasi yang diwakili oleh Medical Representative atau Detailer dengan dokter dalam penulisan resep, tentunya merugikan pasien. Biaya promosi perusahaan farmasi yang disuapkan kepada dokter, dimasukkan ke dalam biaya produksi, sehingga menyebabkan mahalnya harga obat dan tidak rasionalnya pemberian resep dokter kepada pasien, karena dampak gratifikasi yang dianggap suap yang berupa komisi dalam bentuk uang maupun barang. Undang-undang antikorupsi dan peraturan antikorupsi serta kode etik kedokteran dan farmasi di Indonesia, sebenarnya sudah diatur dalam KUHP, Peraturan Penguasa Perang Pusat, UU No.24/Perpu/1960, UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 11 Tahun 1980 tentang tindak Pidana Suap, UU No. 31 Tahun 1999 yang sudah diubah menjadi UU No.20 Tahun 2001 tentang PTPK, UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU No.36 Tahun 2014 Tenaga Kesehatan, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, KODEKI, Permenkes RI, Keputusan Bersama IDI dan GP Farmasi,dll. Penegakkan hukum yang dilakukan oleh kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam pemberantasan korupsi secara das sollen dengan UU dan peraturan antikorupsi diatas harusnya bisa menghentikan praktik penyuapan yang dilakukan perusahaan farmasi kepada dokter dalam pelayanan medis di Indonesia. Pada praktik das seinnya ternyata belum berhasil memberantas gratifikasi yang dianggap suap perusahaan farmasi kepada dokter di Indonesia. Salah satu faktor penghambat utamanya adalah belum diaturnya delik penyuapan di sektor swasta. Dokter tidak semua berstatus sebagai pegawai negeri atau ASN. Bahkan dokter yang ASNpun kalau berpraktik sore juga disebut sebagai dokter swasta, sehingga Undang-undang Antikorupsi kita tidak bisa menjangkaunya, karena akhirnya dokter dianggap bukan termasuk kategori sebagai pejabat publik atau ASN. Indonesia sebenarnya pada tgl. 19 September 2006 sudah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dalam UU No. 7 tahun 2006 yang sangat rinci mengatur tentang definisi suap sektor swasta dalam pasal 21 UNCAC. Jadi kesimpulannya Indonesia harus segera mengkriminalisasi delik penyuapan sektor swasta (bribery in the sector privat) UNCAC ke dalam hukum nasional kita. Urgensi reformasi pembaharuan hukum pidana secara total atau parsial melalui politik hukum dan politik kriminal berupa kriminalisasi delik penyuapan sektor swasta didalam UU Antikorupsi di Indonesia, sehingga cita hukum kesehatan Indonesia akan tercapai demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Pancasila.