Abstract:
Agama Buddha merupakan salah satu agama yang sudah cukup tua di dunia (sekitar tahun 532 SM), dimana pada perkembangannya terbagi menjadi tiga mazhab utama (Theravada, Mahayana, dan Vajrayana) dan tersebar ke seluruh penjuru negara. Dengan tidak adanya sastra arsitektural yang mengatur, seiring berjalannya waktu terjadi perubahan tipologi arsitektur Buddha, dimana berawal dari bentuk bangunan temporer untuk berteduh pada saat misionaris hingga memiliki bentuk arsitektur tetap yang menampilkan sakralitasnya untuk ritual ibadah dan pendidikan bagi umat awam. Perubahan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks menghasilkan penambahan fasilitas lain yang bersifat profan untuk mendukung kegiatan ibadah seperti pada Vihara Dhammacakka Jaya, akan tetapi penambahan yang berlebihan tanpa memperhatikan konsep sakralitas arsitektur Buddha Theravada malah dapat mengganggu ritual ibadah dan menurunkan martabat vihara sebagai bangunan suci. Untuk kembali menegaskan nilai sakralitas, diperlukan pengembangan arsitektur vihara diikuti elaborasi fungsi museum sehingga umat dapat merasakan dan memahami sakralitas yang sesuai dengan agama Buddha Theravada. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan sakralitas antara fungsi utama sakral (vihara Theravada) dan fungsi pendukung profan (museum). Melalui elaborasi studi teoretik dan empirik menggunakan teori sakralitas dan kontekstualitas menghasilkan konfigurasi arsitektur vihara dan museum pada Vihara Dhammacakka Jaya yang menerapkan nilai sakralitas sesuai dengan filosofi Buddha Theravada di Indonesia.