dc.description.abstract |
Dalam aturan merek kolektif WIPO yang diadopsi oleh TRIPS, pembentukan
merek dilakukan oleh perusahaan atau asosiasi usaha. Sedangkan, tertulis dalam
UU No 20/ 2016 Bab VI Pasal 46 (4), pemerintah Indonesia dapat mendaftarkan
merek kolektif yang diperuntukkan oleh pengembangan usaha. Berangkat dari
theory gap tersebut, penulis mengangkat pertanyaan penelitian “Apa faktor-faktor
yang menyebabkan Pemerintah Daerah Kota Cimahi melakukan implementasi
aturan yang tidak umum sesuai dengan aturan merek kolektif WIPO?”. Untuk
menjawabnya, penulis menggunakan landasan teori dan konsep. Pertama, teori
neoliberal institusionalisme yang menempatkan WIPO sebagai rezim internasional
yang memberikan aturan-aturan terkait merek dan merek kolektif. Kedua, konsep
kedaulatan yang menempatkan pemerintah sebagai aktor yang sepenuhnya
berdaulat atas hukum yang berlaku di wilayahnya. Ketiga, incentive-based theory
menjelaskan relevansi dan manfaat keberadaan merek kolektif Serba Singkong
kepada masyarakat Kampung Adat Cireundeu dari segi ekonomi dan sosial, yang
mendorong pemerintah untuk membantu masyarakatnya sebagai fasilitator dan
katalisator. Bagi masyarakat yang sering kali mengalami pengucilan sosial karena
kepercayaannya, Pemerintah Kota Cimahi hadir untuk melihat modal sosial
masyarakat setempat yang sebenarnya memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Keempat, teori developmentalism menjelaskan posisi Pemkot Cimahi sebagai
representasi dari pemerintah Indonesia yang berbeda disebabkan dari kepercayaan
bahwa pemerintah berkapasitas untuk membentuk perubahan dalam masyarakat
dalam memimpin, menggunakan sumber daya, dan menginstruksikan agenda
ekonomi. Di sisi lain, peran ini diseimbangi dengan sistem desentralisasi yang
dilengkapi dengan kebijakan pengembangan ekonomi lokal dan pendekatan
bottom-up yang dilakukan pemerintah. |
en_US |