dc.description.abstract |
Topik menyiratkan tantangan bagi kota-kota air dengan konteks lahan pasang-surut, terutama bagi kota di bawah permukaan air laut. Kota Banjarmasin,ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan, menjadi contohnya. Ketinggian wilayahnya -16cm dpml.,setiap hari mengalami dua kali siklus (semi diurnal tide), oleh arus hidrodinamika sungai Barito,akibat pasang-surut permukaan air laut Jawa. Kota ini tidak dapat menghindar dari pengaruh isu ancaman alam akibat pemanasan global, yang hingga tahun 2100, diproyeksikan kenaikan permukaan air laut Jawa setinggi ±0,934m dan akan menenggelamkan ±2581km2 kawasan tepian kota (Amri Susandi,2008). Ancaman kedua berada di daratan, yaitu isu transformasi arsitektur kota terjadi sepanjang sejarah kota, khususnya pada kawasan pasang-surut sungai yang membelah kota. Fenomena transformasi ditandai perubahan bentuk tata massa dan ruang kota, ada bagian yang bertahan (continuity), ada pula yang berubah (change). Isu transformasi telah merubah identitas arsitektur kota air menjadi kota darat,yang cenderung kebanjiran dan berpeluang tenggelam. Bagaimana kebijakan pemerintah kota harus mengkondisikan keberlanjutan arsitektur kota air pasang-surut menghadapi kedua ancaman ini? Tujuan penelitian ini mendalami resiko kedua isu pada kawasan pasang-surut pusat kota lama Banjarmasin (DeltaTatas kekuasaan Kolonial Belanda). Pendekatan penelitian dengan tipo-morfologi, melalui metoda retrospeksi-diskriptif-interpretatif. Hasil penelitian memperlihatkan transformasi arsitektur kota telah menimbulkan perubahan tata ruang bangunan maupun struktur kota,yang mereduksi identitas kota air pasang-surut. Manfaat penelitian ini bagi tatar akademik maupun tatar praktek sebagai informasi bagi manajemen kontrol pembangunan kota Banjarmasin,maupun kota air pasang-surut di Indonesia. |
en_US |