Abstract:
Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) yang terjadi dalam bentuk pornografi pornografi anak, prostitusi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan pariwisata seks anak adalah contoh kegagalan pemenuhan hak anak. Kejahatan ini terjadi karena faktor ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pariwisata, dan perkembangan teknologi dan internet. ECPAT hadir sebagai organisasi yang fokus menangani masalah tersebut, termasuk di Indonesia dan Filipina. Diperkirakan sekitar 100.000 anak-anak di Filipina telah menjadi korban ESKA. Sedangkan di Indonesia, telah terjadi 711 kasus selama 2016-2018. Kedua negara menjadi wilayah penelitian karena kemiripan karakteristik kasus yang terjadi dan statusnya pathfinding country dalam Global Partnership to End Violence against Children. Adapun pertanyaan penelitian ini adalah “Bagaimana upaya ECPAT Indonesia dan Filipina menangani kasus eksploitasi seksual komersial anak (ESKA)?” Melalui konsep upaya NGO David Lewis sebagai unit komparasi yang terdiri atas service delivery, advocacy, innovation, dan monitoring and evaluation dan teori Liberalisme Sosiologis, penelitian ini menemukan persaman dan perbedaan upaya yang dilakukan ECPAT Indonesia dan Filipina. Upaya service delivery dalam bentuk pelatihan dan kampanye di kedua negara dipengaruhi oleh faktor pariwisata dan politik. Perbedaan waktu ratifikasi dokumen OPSC memengaruhi bentuk kegiatan dalam upaya service delivery, skala advocacy, dan produk advokasi yang dihasilkan sebagai bentuk innovation di ECPAT Indonesia dan Filipina