Abstract:
Pada tanggal 14 Mei 2018, Trump memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Jerusalem. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi Leadership Style dari Donald Trump dan dampaknya pada kebijakan Amerika mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Situasi internasional di Timur Tengah yang sensitif membuat kedamaian Israel – Palestina sangat rapuh. Peran Amerika di region tersebut juga begitu signifikan, terutama bagi Israel. Untuk memfokuskan penelitian, maka dirumuskanlah RQ, yaitu bagaimanakah dampak gaya kepemimpinan Donald Trump pada kasus Jerusalem sebagai ibukota Israel? Mengacu pada RQ ini, maka penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif psikobiografi.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori karakter presiden milik Thomas Preston. Teori ini menggunakan dua dimensi, yaitu need for control dan sensitivity to context. Dimensi pertama berbicara tentang kebutuhan presiden akan kekuasaan dan keahlian yang dimilikinya berdasarkan pengalaman, sedangkan dimensi kedua berbicara tentang cognitive complexity dan keahliannya. Untuk menganalisis pola pengambilan keputusan yang dihadapi oleh Trump, digunakan teori realisme neoklasik. Teori ini menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri adalah produk negosiasi antar aktor domestik. Diantara para aktor ini terdapat perbedaan pengaruh dan bargaining power yang tidak merata. Dalam kasus Amerika, ada sebuah sistem yang tidak tertera dalam undang – undang, presidential imperialism, dimana presiden memiliki kewenangan superior dalam urusan luar negeri. Data yang digunakan berada dalam kurun waktu 2017 hingga tahun 2019, ketika penelitian ini dibuat.
Kesimpulannya, pertama, Donald Trump adalah driver utama dalam kebijakan Amerika di Timur Tengah karena hands-on approach dan narcissism disorder yang dimilikinya. Ia sangat bergantung pada values pribadinya, sehingga kebijakan yang dihasilkannya sangat dipengaruhi faktor ideosinkretik, terutama sifat kesewenang – wenangannya dan tidak menanggapi saran para stafnya. Mengingat faktor situasi internasional dan dilihat dari konsiderasi harm-benefit, kebijakan ini tidak rasional dan cenderung merugikan kedua belah pihak. Kedua, teori karakter presiden milik Thomas Preston, tepatnya bagian prior policy experience/policy expertise tidak cukup untuk menjelaskan kemampuan presiden secara komprehensif.