dc.description.abstract |
Idealnya, anak-anak memiliki kebebasan untuk bermain dan mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Meskipun demikian, tidak semua anak merasakan kebebasan tersebut. Bahkan beberapa di antara mereka sudah dibebankan dengan tanggung jawab yang besar seperti pernikahan dan membesarkan anak sebelum menginjak usia dewasa. Pernikahan anak secara khusus lebih banyak dialami oleh anak perempuan karena adanya pandangan bahwa perempuan lebih inferior dibandingkan dengan laki-laki. Selain ketidaksetaraan gender, penyebab utama lain praktik pernikahan anak adalah tradisi, kemiskinan, dan rendahnya tingkat pendidikan.
Pakistan, salah satu negara dengan prevalensi pernikahan anak tertinggi, dan negara Asia Selatan lainnya yang memiliki masalah yang serupa telah mendirikan sebuah organisasi regional yang secara khusus bertujuan untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak yaitu South Asia Initiative to End Violence Against Children (SAIEVAC). Organisasi ini berupaya untuk mengatasi isu pernikahan anak melalui Regional Action Plan to End Child Marriage (2015-2018) (RAP). Maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan “bagaimana upaya SAIEVAC dalam mengatasi isu pernikahan anak di Pakistan melalui pelaksanaan Regional Action Plan to End Child Marriage (2015-2018)?” Analisa akan dilakukan dengan menggunakan teori Neoliberalisme Institusionalis serta fungsi organisasi internasional oleh Karns dan Mingst. Dengan melihat upaya implementasi RAP dari pembagian waktu sebelum, saat, serta sesudah pernikahan anak terjadi, dapat dilihat bahwa upaya yang dilakukan oleh SAIEVAC beserta mitranya mencapai hasil yang moderat. Meskipun demikian, keseriusan SAARC dan SAIEVAC untuk mengatasi pernikahan anak di Asia Selatan perlu digarisbawahi, terlihat dengan sudah dimulainya formulasi Regional Action Plan to End Child Marriage (2018-2023). |
en_US |