Abstract:
Permintaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia menjadi salah satu penyebab peningkatan pertumbuhan ekonomi di Negara Indonesia. Persaingan usaha yang semakin ketat terjadi pada seluruh jenis industri termasuk industri fashion. Para fashion designer harus memiliki keunggulan kompetitif agar dapat bertahan dan mampu menghadapi persaingan. Salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh calon pelanggan yaitu harga jual yang ditawarkan sebanding dengan kualitas menjadi penting apabila perilaku pelanggan sensitive terhadap harga jual. Tidak jarang fashion designer kehilangan calon pelanggan dengan alasan calon pelanggan dan fashion designer tidak menemukan kesepakatan negosiasi harga jual. Untuk dapat menghitung harga jual yang tepat bagi pelanggan, fashion designer harus dapat menghitung harga pokok produk secara akurat sehingga memerlukan informasi biaya yang benar dan cara pembebanan biaya pada produk yang tepat. Perhitungan harga pokok produk yang lebih akurat dapat diperoleh menggunakan job order costing system dengan menggunakan activity based costing. Job order costing system cocok untuk perusahaan fashion designer karena setiap jenis produknya menggunakan sumber daya yang berbeda-beda. Dalam menggunakan job order costing system, diperlukan metode pembebanan biaya tidak langung yaitu activity based costing yang memberikan hasil perhitungan harga pokok produk yang lebih akurat. Activity based costing memiliki empat activity cost driver yaitu unit level activities, batch level activities, product sustaining activities, dan facility sustaining activities. Dalam penelitian ini, penulis berupaya membantu fashion designer untuk memiliki keunggulan kompetitif dalam segi harga dengan memberikan perhitungan harga pokok produk yang lebih akurat menggunakan job order costing system dengan activity based costing. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Penulis mengumpulkan data yang mengenai biaya yang terjadi pada bulan Oktober 2018. Penulis mengklasifikasikan manakah biaya produksi langsung, biaya produksi tidak langsung, dan biaya non-produksi. Selanjutnya data tersebut diolah dengan job order costing system menggunakan activity based costing. Kemudian hasil perhitungan harga pokok produk yang dilakukan oleh penulis dibandingkan dengan hasil perhitungan harga pokok produk yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Penulis dapat menarik kesimpulan dan memberikan saran kepada perusahaan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian penulis, fashion designer Veronica Couture sudah menggunakan prosedur pengakumulasian biaya job order costing system namun belum menggunakan metode pembebanan biaya tidak langsung activity based costing. Selain itu, terdapat biaya-biaya yang belum dimasukkan oleh pemilik dalam perhitungan harga pokok produk seperti biaya penyusutan, biaya oli pelumas, dan sebagainya. Fashion designer Veronica Couture juga salah mengklasifikasikan mana yang termasuk biaya langsung dan tidak langsung seperti biaya cat tie dye dan biaya tas packing. Berdasarkan hasil penelitian, fashion designer Veronica Couture mengalami undercosted pada jenis produk white blazer with furing sebesar Rp 149.057,10 dan simple dress two tone sebesar Rp 181.117,74 serta mengalami overcosted pada jenis produk scarf tie dye sebesar Rp 74.971,55, midi dress with Swarovski stone sebesar Rp 34.223,29, dan long dress special detail sequin sebesar Rp 101.953,93. Sehingga penulis menyarankan kepada perusahaan agar menggunakan activity based costing dalam menghitung harga pokok produk yang lebih akurat sehingga perusahaan dapat mengambil keputusan yang tepat juga.