Abstract:
Diantara banyak bangunan asing di Bali, Puri Ahimsa bergaya arsitektur vernakular
menunjukkan kebertahanan Budaya Bali dalam arsitektur masa kini. Tulisan ini mengungkap
wujud-wujud Budaya Bali dalam arsitektur bangunan utama (Mandala Agung) healing center
Puri Ahimsa dan pelestariannya secara kualitatif-deskriptif. Sistem fisik-sosial-nilai dari wujud
Budaya Bali diungkap melalui kesadaran inderawi-tujuan-esensi dari Mandala Agung (posisi,
arsitektur). Posisi bangunan pada area tengah terkait fungsinya untuk berdiskusi (konsep Tri
Angga). Esensinya untuk relasi antar manusia-manusia dan manusia-alam, sehingga tercipta
lingkungan serasi manusia-alam-Tuhan dalam tapak Puri Ahimsa (nilai Tri Hita Karana).
Perbedaan Mandala Agung dari wantilan adalah pada bentuk atap kerucutnya, namun serupa
pada bahan atap, keterbukaan, rangka bangunan dan peninggian lantai, sehingga karakter Budaya
Bali masih terasa. Bentuk kerucutnya mengikuti konsep tumpeng Budaya Bali, simbol terima
kasih kepada Alam (nilai Manik Ring Cecupu), fungsinya untuk diskusi membentuk relasi
manusia-manusia, terbuka ke sekeliling membentuk relasi manusia-alam, bukaan sky-light
membentuk relasi manusia-Tuhan. Konsep Tri Angga berupa kepala (sky-light, atap) - badan
(dinding terbuka) - kaki (lantai tinggi). Esensinya: Bentuk ruang ‘sepasang setengah lingkaran’
sebagai penyatuan perbedaan (Rwa Binedha); Tempat diskusi sekaligus olah jiwa adalah adaptasi
arsitektural masa kini (Desa Kala Patra). Bukaan ke samping - ke atas sebagai relasi harmonis
manusia - alam - Tuhan (Tri Hita Karana). Pelestarian Budaya Bali: Arsitektur Wantilan
dilestarikan dengan tindakan replika dan adaptasi; Tri Angga (zonasi) dipreservasi dan
diadaptasi; Manik Ring Cecupu (relasi manusia-alam) dipreservasi; Rwa Binedha (penyatuan
perbedaan) dipreservasi; Desa Kala Patra (adaptasi arsitektur kekinian) dipreservasi; dan Tri
Hita Karana (relasi manusia-alam-Tuhan melalui keterbukaan bangunan) dipreservasi.