Abstract:
Pasukan perdamaian merupakan instrumen yang digunakan oleh Misi
Pemeliharaan Perdamaian Persatuan Bangsa-Bangsa (MPP PBB) untuk menjaga
stabilitas wilayah konflik. Peran dari pasukan perdamaian semakin diandalkan
dimulai dari kesuksesannya dalam meredam tensi di Terusan Suez pada tahun 1957
pada era Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjöld. Tetapi sangat disayangkan
dalam praktiknya, terdapat kesenjangan dari partisipasi pasukan perdamaian
perempuan dan laki-laki. Padahal, melalui banyak riset, ditemukan bahwa
partisipasi perempuan memiliki banyak sekali kelebihan. Indonesia menyadari
rendahnya partisipasi perempuan dan Indonesia sebagai salah satu negara dengan
angka pengiriman pasukan perdamaian terbanyak mencoba meningkatkan angka
partisipasi perempuan guna menciptakan proses perdamaian yang lebih kondusif
dan inklusif.
Untuk menjawab permasalahan ini, penulis mengacu kepada dua konsep.
Yang pertama adalah diplomasi preventif yang merupakan konsep diplomasi yang
bersifat mencegah semakin parahnya suatu konflik. Konsep kedua adalah
pengarustamaan gender mengupayakan untuk melibatkan perempuan untuk
berpartisipasi, membawa persepsi, pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan
sehingga menciptakan suatu kebijakan dan pengambilan kepurusan dalam proses
politik. Diakhir penelitian, penulis menemukan bahwa memang Indonesia sedang
berupaya meningkatkan pasukan perdamaian perempuan yang didorong dengan
kelebihan-kelebihan yang ditemukan setelah melibatkan pasukan perdamaian
perempuan di suatu misi perdamaian, yang menjadi salah satu agenda diplomasi
preventifnya. Juga, dalam penelitian ini, penulis juga mengemukakan beberapa
tantangannya.
