Abstract:
Penggunaan pestisida kimia di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, terutama dengan digalakannya paket teknologi modern untuk menaikkan produktivitas di sektor pertanian dan perikanan. Namun sayangnya, penggunaan pestisida kimia membawa pengaruh negatif dan menjadi kendala baru dalam peningkatan produksi. Penggunaan pestisida kimia (seperti DDT dan Eldrin) menyebabkan kerusakan ekosistem, pencemaran lingkungan, resurjensi dan resistansi hama serta peninggalan residu kimia pada bahan pangan. Untuk itu, diperlukan produk alternatif yang dapat mengurangi bahkan mengeliminasi dampak negatif penggunaan pestisida kimia. Minyak nimba adalah salah satu produk yag berpotensi untuk menggantikan pestisida kimia. Minyak nimba berasal dari biji pohon nimba yang merupakan tanaman anti-feedant. Tanaman anti-feedant adalah tanaman yang memiliki bahan aktif alami yang dapat mempengaruhi siklus hidup serangga. Serangga yang mengkonsumsi bagian dari pohon nimba menjadi tidak dapat berkembang biak, kehilangan nafsu makan, terdapat perubahan fisiologis, dan akhirnya mati. Bahan aktif yang terkandung di dalam pohon nimba bervariasi, diantaranya adalah azadirachtin (AZA), nimbin, dan nimbinidin. Bahan – bahan aktif, terutama AZA, paling banyak ditemukan pada minyak nimba. Kandungan azadirachtin dalam minyak nimba sekitar 5000 – 6000 ppm dan dibutuhkan sekitar 20 – 50 g minyak nimba untuk memberantas hama pada satu hektar lahan. Oleh karena itu, penggunaan minyak nimba dapat dianggap menguntungkan secara ekonomis. Akan tetapi, minyak nimba memiliki viskositas yang tinggi, sehingga minyak nimba sulit untuk disemprotkan langsung ke tanaman.
Penelitian yang dilakukan sebagai kajian awal untuk membuat emulsi biopestisida berbasis minyak nimba. Banyak hal yang dapat mempengaruhi pembentukan emulsi oil-in-water, diantaranya adalah tipe pengadukan, waktu pengadukan, temperatur pengadukan, jenis surfaktan yang digunakan, dan formulasi baha baku. Pada penelitian awal ini, sekitar 10% berat minyak nimba akan “dilarutkan” ke dalam pelarut air dengan penambahan 5% berat surfaktan. Variasi awal yang dilakukan adalah variasi tipe surfaktan (Lutensol TO 6, TO 7, TO 8, XL 40, dan XL 70) dan kondisi pengadukan (magnetic stirrer dan vortex). Temperatur pengadukan dijaga konstan pada temperatur ruangan. Analisis yang dilakukan adalah uji creaming, uji ukuran droplets, dan larva activity.
Dari kajian awal yang dilakukan, kedua tipe pengadukan sederhana magnetic stirrer dan vortex dianggap kurang mampu untuk mendapatkan emulsi yang stabil dikarenakan munculnya fenomena creaming (terbentuknya multifasa). Creaming pada magnetic stirrer muncul 30 menit setelah proses pengadukan selesai, sedangkan creaming pada vortex muncul satu jam setelah pengadukan selesai. Pada pengadukan dengan menggunakan magnetic stirrer, droplets minyak akan terpisah di permukaan larutan dalam kurun waktu dua jam. Hal ini menandakan surfaktan yang belum bekerja secara efektif. Selain itu, ukuran droplets juga menjadi tolak ukur dalam menganalisa kestabilan emulsi. Ukuran droplets rata-rata terletak pada rentang 4 – 10 μm, dimana hasil terbaik diperoleh dengan menggunakan surfaktan Lutensol TO 7 dengan ukuran rata-rata 4,70 μm. Keefektifan biopestisida sebagai pembunuh serangga juga diuji dengan menyemprotkan biospestisida pada makanan. Terbukti, makanan yang disemprotkan dengan biopestisida tidak terdapat aktivitas pertumbuhan larva lalat, sedangkan yang tidak disemprotkan biopestisida terdapat aktivitas pertumbuhan larva lalat.