dc.description.abstract |
Indonesia melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28I ayat (4) menyebutkan, Negara Indonesia berkewajiban untuk mewujudkan perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia. Pada tahun 1965 terjadi serangkaian peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Namun sebagaimana diketahui, negara tidak menyelesaikan kasus ini secara hukum sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi korban. Hal ini tampak dari terbengkalainya kasus ini hingga lebih dari 50 tahun. Pada akhirnya terbentuk International People's Tribunal 1965 (IPT 65) pada tanggal 10 – 13 November 2015 di Den Haag, Belanda, sebagai pengadilan publik untuk menuntut pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun 1965 hingga 1966. Adapun kendala bahwa pengadilan ini tidak memiliki kekuatan formal dalam sistem hukum nasional maupun internasional sehingga putusannya tidak dapat mengikat. Namun kendala tersebut perlu diteliti lebih lanjut bagaimana dampak IPT 65 jika ditinjau dari hukum internasional, terutama hukum kebiasaan internasional.
Penelitian ini akan diselenggarakan dengan pendekatan yuridis normatif. Hal ini dikarenakan peneliti ingin mengetahui bagaimana norma-norma hukum nasional dan internasional yang berkaitan dari pembentukan IPT 65. Serta menelaah penegakan hukum yang pada dasarnya merupakan penelitian perbandingan antara realitas hukum dengan ideal hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan IPT 65 berdasarkan hukum kebiasaan internasional dapat mengikat bagi Indonesia dengan beberapa pertimbangan. Dengan demikian Indonesia harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat pada tahun 1965 melalui jalur hukum yang berlaku. Selain itu hasil tribunal ini dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat untuk menuntut negara agar mampu menegakkan keadilan. Selanjutnya, putusan IPT 65 juga sebagai bentuk kontribusi pada proses pemulihan korban peristiwa 1965. |
en_US |