Abstract:
Penelitian ini merupakan upaya untuk memberikan proporsi yang tepat bagi konsep
kewirausahaan publik dalam domain ilmu administrasi publik sebagai konsep yang sama
pentingnya dengan kepemimpinan di sektor publik. Secara khusus, penelitian ini di tujukan
untuk memberikan kontribusi dalam debat mengenai kewirausahaan publik (public
entrepreneurship) dengan pelestari nilai-nilai administratif dalam birokrasi (administrative
conservatorship).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian ini akan difokuskan menjadi tiga bagian
penting penelitian. Pertama, penelitian ini ingin mengetahui tingkat kewirausahaan publik di
tingkat pemerintah daerah di wilayah provinsi Jawa Barat (pemerintah kota Bandung,
pemerintah kabupaten Bandung dan pemerintah kabupaten Bandung Barat) dan bagaimana
pengaruh kewirausahaan publik tersebut terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik. Kedua, dengan memahami bagaimana kewirausahaan publik dilaksanakan
dengan memperhatikan nilai-nilai revolusi mental maka akan dapat terbentuk penjelasan
apakah kewirausahaan publik di dalam organisasi publik akan menjadi hal yang baik dan
tidak bertentangan dengan prinsip birokrat sebagai adminsitrative conservatorship.
Penelitian ini menggunakan pendekatan mix-method (gabungan antara penelitian kuantitatif
dengan penelitian kualitatif) dengan desain penelitian survey. Obyek penelitian ini adalah
seluruh SKPD di wilayah pemerintahan provinsi Jawa Barat, yaitu Kota Bandung, Kabupaten
Bandung Barat dan Kabupaten Bandung.
Dalam analisa kewirausahaan publik digunakan lima pengukuran yaitu (1) kemampuan
mengidentifikasi peluang dan memanfaatkan peluang; (2) inovasi; (3) pengambilan resiko;
(4) memiliki otonomi/kebebasan dalam pembuatan keputusan dan (5) mission driven. Dalam
hal memanfaatkan peluang dan kemampuan mengidentifikasi peluang, SKPD-SKPD di tiga
wilayah pemerintahan daerah di Indonesia TELAH memiliki kesadaran untuk memanfaatkan
peluang dan mampu mengidentifikasi peluang-peluang yang muncul, meskipun dalam
organisasi mereka masing-masing ditemui keterbatasan sumber daya yaitu (1) sumber daya
manusia dan (2) prasarana. Dalam aspek inovasi, hampir sebagian besar SKPD-SKPD
mengaku melakukan inovasi. Hanya pemerintah kabupaten Bandung Barat yang memiliki
persentase yang lebih rendah (61 %) dibandingkan dengan dua pemerintah daerah lainnya.
Dalam hal pengambilan resiko, SKPD-SKPD di tiga wilayah penelitian membuktikan sebagai
karakter organisasi publik atau birokrasi yang disebut sebagai 'risk aversion'. Selanjutnya,
dalam hal kebebasan ( otonomi) dalam pembuatan keputusan, tidak terdapat kebebasan
( otonomi) dalam pembuatan keputusan di tiga wilayah penelitian. Sedangkan dalam hal
mission driven, maka dalam birokrasi di wilayan penelitian, tidak ada kebebasan dalam
menyelesaikan masalah tanpa perlu mengikuti aturan yang berlaku, dan tidak dimungkinkan
melakukan perubahan diluar aturan yang telah ditetapkan meskipun mayoritas menyatakan
setuju bahwa tugas mereka yang utama adalah mencapai tujuan organisasi.
Dalam hal revolusi mental, terdapat tujuh aspek pengukuran yaitu (1) Memiliki moralitas
publik bukan moralitas privat; (2) Etos Kerja/memiliki Kemampuan mempengaruhi pihak
lain demi perbaikan/inovasi; (3) Kejujuran; (4) Mental melayani bukan mental priyayi; (5)
Memiliki kesalehan sosial bukan kesalehan individu; (6) Mengedepankan rasionalitas hati
dan (7) Kemampuan meminta maaf dan memaafkan. Secara garis besar ketujuh aspek
tersebut dapat ditemukan dan dipahami dengan baik oleh seluruh pegawai di SKPD-SKPD di
tiga wilayah penelitian. Agenda besar selanjutnya untuk keberhasilan revolusi mental adalah
untuk membuat ketujuh aspek ini tidak hanya di tataran pengetahuan atau kognitif saja
namun juga pada aspek konatif atau perilaku.