dc.description.abstract |
RUU tentang Perkawinan yang diajukan oleh Pemerintah cq
Departemen kehakiman pada tanggal 31 Juli 1973, yang mendapat tentangan yang amat sangat dari berbagai lapisan, tetapi akhirnya dengan berbagai perubahan, tidak sampai enam bulan kemudian, bersamaan dengan diperingatinya hari lbu 22 Desember 1973, terbentuk sebuah
Undang-undang tentang Perkawinan, hanya seperempat jam (23.45 tanggal 21 Desember 1973) sebelum tengah malam hari sebelumnya.
Bunyi dan jiwa dari Undang-undangan Perkawinan yang baru ini, UU No. 1/74 diundangkan pad a tanggal 1 Januari 1974, menjadi sangat berbeda dengan RUU yang diajukan oleh Pemerintah.
Pertama-tama terdapat perbedaan umur minumum antara pria dan perempuan. Sahnya pprkawinan dikaitkan dengan masing-masing agama dan kepereayaannya itu. Selanjutnya terdapat penentuan tentang dapatnya dilangsungkan perkawinan poligini dengan menggunakan
ketidakberdayaan perempuan sebagai alasan. Penentuan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Adanya pembagian harta perkawian, yaitu harta bawaan dan harta bersama.
Alasan pereeraian yang menggunakan ketidakberdayaan salah satu pihak, yaitu sakit/ cacat, sebagai dasar dari perceraian. Beberapa hal yang dikemukakan di atas adalah beberapa hal, yang menurut asas keadilan hukum, melanggar asas manfaat dan asas kesetaraan.
Penelitian lapangan dengan responden dosen dari tiga perguruan tinggi, yaitu Universitas Katolik Parahyangan, Sekolah Tinggi Ilmu Adminstrasi Lembaga Adminstrasi Negara dan Universitas Kristen Maranatha, menghasilkan beberapa hal yang cukup menarik. Bahwa seluruh responden rupanya tidak dapat melepaskan pendapatnya tentang adanya perbedaan biologis antara perempuan dan pria, sebagai hal yang kodrati, yang mengakibatkan adanya pandangan bahwa perempuan dan pria berbeda.
Para responden berpendapat hampir sama mengenai keadilan, tetapi mengenai keadilan di dalam rumahtangga pada umumnya, seperti diuraikan di atas, para responden berpendapat terdapat perbedaan yang kodrati antara suami dan istri, sehingga ada kecendrungan untuk membedakan pembagian tugas antara keduanya. Perempuan karena
kodratnya dapat melahirkan dan menyusui mempunyai tug as
memelihara dan membesarkan anak.
Sangat menarik adalah pendapat yang berbeda antara responden pria yang beragama Islam dan beragama non Islam tentang pemimpin di dalam rumah tangga. Pendapat dari responden pria Islam masih sangat relevan dengan pendapat pada waktu RUU dibicarakan di DPR hampir 28
tahun yang lalu. Mengenai poligini hampir seluruh responden pria yang beragama Islam berpendapat poligini tidak perlu diatur di dalam undang-undang, biarkan para suami menentukan sendiri mau poligini atau tidak.
Bahkan ada kecendrungan membenarkan poligini, atau beristri lebih dari satu, adalah hak dari suami yang beragama Islam.
Ada persamaan pendapat antara responden perempuan Islam dan responden perempuan non Islam, ada persamaan pendapat antara pria dan perempuan non Islam. Ada bersamaan pendapat dari seluruh responden, terutama tentang penggunakaan ketidakberdayaan perempuan sebagai alasan poligini dan perceraian, yang menurut para
respond en perlu dihapus dan juga ketentuan yang menentukan suami sebagai kepala keluarga. Menurut sebagian besar responden, di dalam perkawinan hubungan lebih didasarkan kepada kemitraan yang sejajar. |
en_US |