dc.contributor.author |
Moeliono, Tristam Pascal |
|
dc.contributor.author |
Puspitadewi, Rachmani |
|
dc.date.accessioned |
2017-09-20T06:03:08Z |
|
dc.date.available |
2017-09-20T06:03:08Z |
|
dc.date.issued |
2013 |
|
dc.identifier.isbn |
978-602-14207-4-4 |
|
dc.identifier.other |
bcsc11 |
|
dc.identifier.uri |
http://hdl.handle.net/123456789/3394 |
|
dc.description |
Dimuat dalam kumpulan tulisan “Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif” / Moh. Mahfud MD., Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya, Anton F. Susanto" |
en_US |
dc.description.abstract |
Berakhirnya rezim Orde Baru sejatinya membawa bangsa Indonesia ke masa pencarian diri kembali termasuk pencarian keberadaan hukum yang berkeadilan. Pencarian ini yang seharusnya muncul dari kesadaran bahwa apa yang telah dilakukan dan dihasilkan pemerintahan di masa lalu penuh dengan penyelewengan. Alih-alih pimpinan bangsa memilih untuk bereksperimen di tengah ketidakpastian. Salah satu eksperimen terbesar adalah dengan mengamandemen UUD 1945 dan, dengan itu pula mengembangkan konfigurasi politik dan hukum yang lebih demokratispartisipatif.
Persoalan yang kemudian muncul ialah bagaimana menjaga kesatuan dan
keselarasan hukum nasional yang karena prosedur pembuatannya secara formal (belum tentu substantif) “partisipatif”, “demokratis” dan sangat “responsif” justru berkembang dengan cara “fragmentaris”. Situasi ini yang berakibat pula pada kinerja hukum yang kemudian mengalami kegagalan dan jauh dari harapan sebagai ‘panacea’.
Konsep Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo lahir dari kegelisahan menghadapi kekacauan hukum yang digambarkan di atas. Pendekatan hukum progresif pada prinsipnya menekankan pentingnya kiprah pengemban hukum individual (hakim, jaksa, polisi). Pada saat sama interaksi antara sistem politik dan sistem (hukum) di mana para pengemban hukum individual bekerja perlu pula mendapat perhatian. Hal terrsebut disebabkan kadar demokratis (dan atau partisipatif) dari produk hukum yang dibuat melalui proses politik turut menentukan seberapa jauh pengemban hukum dapat melakukan terobosan progresif. Tulisan singkat ini akan membandingkan kiprah dan kinerja dari peradilan dalam memunculkan keadilan substantif dari masa Orde Baru dan masa pasca Orde Baru (reformasi). Beranjak dari hal itu, kemudian ditelaah seberapa jauh pemikiran kritis yang dikembangkan Satjipto tentang hukum yang harus berhati nurani dan yang harus dikembangkan secara progresif masih relevan untuk menjawab tantangan kekacauan dunia hukum Indonesia yang juga disebabkan kecenderungan sistem hukum pluralistik. |
en_US |
dc.publisher |
Thafa Media |
en_US |
dc.subject |
KEKUASAAN HEGEMONIK |
en_US |
dc.subject |
PEMENCARAN KEKUASAAN |
en_US |
dc.title |
Hukum progresif : Solusi keadilan bermoral dalam sistem hukum pluralistik? |
en_US |
dc.type |
Book Chapters |
en_US |