Abstract:
Pergeseran ruang lingkup konflik, dari konflik antar negara ke konflik internal negara pasca Perang Dingin memunculkan banyak kajian tentang konflik. Namun maraknya kajian konflik, terutama konflik internal negara seakan berbanding lurus dengan menjamurnya konflik di berbagai kawasan. Sehubungan dengan kedaulatan sebuah negara, konflik internal negara pada awalnya dipahami sebagai urusan dalam negeri suatu negara. Namun karena terjadi perkembangan kepentingan yang dimobilisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi, setiap negara merasa berkewajiban untuk turut campur tangan dalam mencari jalan penyelesaian terhadap konflik di suatu negara. Hal ini mudah dipahami karena konflik di suatu negara berakibat pada munculnya ancaman ketidakstabilan ekonomi, politik dan keamanan di kawasan itu. Dan jika konflik berkepanjangan serta makin meluas maka akan terjadi ketidakstabilan internasional dan global. Akibat inilah yang mendorong setiap negara untuk ambil bagian dalam menyelesaikan konflik di suatu negara.
Konflik-konflik yang bernuansa sara, khususnya etnis dan agama di Indonesia seperti terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, Kupang, Mataram, dan beberapa tempat lain yang skalanya lebih kecil tidak bisa lepas dari pengaruh pergeseran ruang lingkup konflik di atas. Secara temporal merebaknya konflik di Indonesia menyusul tumbangnya rezim otoriter orde baru tahun 1998, yang kemudian disusul dengan tuntutan “reformasi”. Tuntutan reformasi di segala bidang ternyata mempunyai implikasi lain, yakni menguatnya tuntutan berbagai kelompok masyarakat untuk menunjukkan identitas yang berbeda. Mengemukanya kepentingan identitas, terutama etnis dan agama menyertai hiruk-pikuknya bangsa Indonesia menyambut jaman reformasi. Di jaman ini orang tidak perlu takut pada bedil tentara atau pentungan polisi, tidak perlu takut diculik dan disekap dalam ruang gelap, sebagaimana terjadi di jaman orde baru, di mana kesempatan untuk menunjukkan identitas yang berbeda harus dibayar mahal, termasuk nyawa bisa menjadi taruhan.
Dengan demikian, gesekan kepentingan identitas yang mengambil wujud kekerasan sosial massal atau konflik terbuka merupakan harga yang harus dibayar untuk sebuah reformasi atau perubahan. Hanya pertanyaannya, sampai kapan proses reformasi ini berhenti menuntut korban, terutama berkaitan dengan hilangnya jiwa dan harta benda. Banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu, politisi dan pengamat menilai serta berspekulasi bahwa kondisi ini hanya sementara; Indonesia sedang berada dalam situasi transisional, dari negara otoriter ke negara demikratis. Namun tidak sedikit pula orang menilai bahwa kondisi ini merupakan signal berakhirnya “mitos” negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai respon terhadap kondisi ini, muncul berbagai kajian guna mencari sebab-sebab terjadinya konflik dan sekaligus menginventarisir solusi-solusi yang memungkinkan dan realistis.
Sejalan dengan upaya di atas, tulisan ini memcoba membahas sudut pandang dalam memahami konflik. Tujuan akhirnya tidak lain untuk memperkaya pemehaman yang telah ada sebelumnya. Konflik, terutama konflik terbuka yang memperlihatkan agresivitas naluriah manusia dalam wujud tindakan kekerasan terhadap manusia lain memang patut dihindari dan diantisipasi. Semua pihak pasti berkepentingan ketika konflik menuntut korban jiwa dan harta benda yang tak ternilai harganya. Namun satu hal yang tidak bisa dilupakan bahwa sekuat apa pun upaya menghindari dan mengantisipasi konflik, potensi konflik atau sering disebut konflik laten tetap ada. Kenyataan ini mengingatkan manusia bahwa konflik sesungguhnya suatu yang lamiah, bahkan dalam banyak hal dibutuhkan untuk menciptakan perubahan. Potensi perubahan inilah yang ingin diangkat dalam tulisan ini, dengan mencermati secara saksama kondisi sosial masyarakat pasca konflik. Konflik sebagai instrumen terciptanya proses afirmasi indentitas yang didahului proses transformasi sosial pasca konflik. Artinya, melalui proses transformasi, konflik bisa menjadi instrumen terciptanya afirmasi atau penegasan identitas di dalam masyarakat pluralis. Dengan demikian tema pokok tulisan ini adalah: “Konflik Sebagai Instrumen Afirmasi Identitas dalam Masyarakat Pluralis”: Transformasi dan Rekayasa sosial pasca konflik. Studi kasus: Konflik Sambas (Melayu vs Madura) tahun 1999.
Salah satu persoalan pokok dan amat penting dihadapi pihak-pihak yang bertikai pasca konflik adalah membangun kembali tatanan sosial dan relasi yang telah rusak akibat konflik. Persoalan ini akan dibahas secara mendalam dengan memanfaatkan atau mengoptimalkan potensi positif yang muncul di tengah masyarakat pasca konflik. Melalui upaya rekayasa sosial, penulis akan membahas, bagaimana proses peleburan cakrawala atau perpaduan kepentingan-kepentingan identitas yang berbeda di antara pihak-pihak yang bertikai pasca konflik. Rekayasa sosial sebagai sebuah konsep diimplementasikan melalui rekayasa pengalaman traumatik dan rekayasa kebijakan (pemerintah). Semua ini dilakukan dalam upaya mencapai tahap afirmasi dan bukan sekadar trasformasi sosial. Afirmasi atau penegasan dan penerimaan kembali identitas yang hilang pasca konflik merupakan babak baru yang amat penting dalam membangun masa depan yang lebih baik dan secara bersama-sama.