Abstract:
Banyak sengketa pertanahan di pengadilan yang timbul dari jual-beli tanah, salah satunya adalah kasus jual beli tanah antara Akub dan Theddy yang dilakukan pada tahun 1971 yang dimana pada saat itu Akub menjual tanah seluas +- 2500m2 kepada Theddy. Setelah jual beli dilakukan Theddy baru mengetahui bahwa tanah tersebut memiliki luas 3680m2. 46 tahun kemudian, selisih tanah sebesar 1180m2 tersebut disengketakan di pengadilan oleh ahli waris Akub. Lalu pada tahun 2019 MA mengabulkan gugatan ahli waris dengan amar “menghukum tergugat untuk menyerahkan sisa tanah seluas 1180m2”. Maka timbul pertanyaan seperti apakah ahli waris masih berhak untuk mengajukan gugatan atas jual beli yang dilakukan oleh alm pewaris 46 tahun yang lalu? Kemudian setelah gugatan tersebut dikabulkan bagaimana ahli waris dapat mengeksekusi putusan tersebut jika ahli waris tidak tahu batas batas tanah yang mereka klaim hak mereka tersebut? Oleh karena itu di dalam studi kasus ini dengan menggunakan metode yuridis normatif, penulis akan meneliti mengenai kewenangan ahli waris dalam mengajukan gugatan dan eksekusi putusan pengadilan dengan amar “menghukum tergugat untuk menyerahkan sisa tanah seluas 1180m2”. Untuk melihat hak ahli waris dalam mengajukan gugatan, perlu menganalisis pertimbangan hakim dikaitkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 834 KUHPerdata, Pasal 1967 KUHPerdata, Pasal 5 UUPA dan Pasal 32 ayat (2) PP No 24 tahun 1997 dimana memang benar Hukum tanah yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat maka dalam menentukan verjaring tidak dapat menggunakan ketentuan yang ada dalam KUHPerdata, tetapi Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) PP No 24 tahun 1997 sesuai dengan penjelasannya adalah bagian dari hukum adat maka seharusnya dalam menentukan verjaring di masalah pertanahan, hakim bisa mempedomani ketentuan tersebut. Kemudian untuk permasalahan kedua, Ahli waris seharusnya tidak bisa mengajukan gugatan ke pengadilan dikarenakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut adalah perbuatan hukum yang “sempurna” menurut hukum adat yang bercorak konkret dan tunai. Dengan demikian ahli waris seharusnya terikat dengan kesepakatan yang orang tuanya buat tersebut mengenai batas batas tanah yang dijual belikan dan fakta bahwa orang tuanya tersebut menjual keseluruhan tanah, bukan sebagian bidang tanah. Kemudian dalam melakukan eksekusi tanah, ketua pengadilan perlu mempedomani ketentuan rakernas MA dimana eksekusi tidak dapat dilaksanakan jika batas batas tanah tidak jelas, hal tersebut menyebabkan penggugat menang tetapi tidak bisa mengeksekusi tanah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ketentuan verjaring untuk sertipikat tanah seharusnya mengikuti ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP No 24 tahun 1997 yang memunculkan doktrin sistem publikasi negatif yang condong pada positif. Walaupun PP kedudukannya lebih rendah dari UU, tetapi PP tersebut perlu dimaknai sebagai peraturan turundan dari UUPA yang mengakomodir tujuan UUPA. Ahli waris juga tidak berhak untuk mengajukan gugatan dikarenakan perbuatan hukum yang dilakukan alm orang tuanya tersebut sudah sah secara hukum adat, hal tersebut juga didukung dengan ketidaktahuan ahli waris mengenai batas batas hak atas sebidang tanah yang mereka klaim belum dijual tersebut. Lalu dikarenakan tidak adanya batas batas tanah yang jelas pada saat persidangan berlangsung sampai putusan berkekuatan hukum tetap, menyebabkan putusan tersebut non eksekutabel, dengan demikian hakim seharusnya lebih cermat dalam memutus perkara sehingga pihak yang menang bisa merasakan “manfaat” putusan tersebut.