dc.description.abstract |
Penelitian ini bertujuan mencari dan menemukan kebenaran mengenai fungsi, dalam arti posisi dan kontribusi, sebuah lembaga hukum yang relatif baru di Indonesia yaitu pertanggungjawaban produk (product liability), dalam upaya melindungi konsumen di Indonesia. Dengan demikian terdapat dua konsep, yaitu di satu pihak adalah lembaga hukum pertanggungjawaban produk dan di lain pihak adalah upaya perlindungan konsumen di Indonesia.
Lembaga hukum pertanggungjawaban produk adalah pertanggungjawaban perdata dari produsen (dapat termasuk pihak lain dalam mata rantai distribusi) untuk mengganti kerugian kepada pihak tertentu (dapat pembeli, pemakai, atau bahkan pihak ketiga), atas kerusakan benda, cedera dan/atau kematian sebagai akibat menggunakan produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut. Rumusan mutakhir yang mengandung pertanggungjawaban langsung (strict liability) ini, pada saat sekarang nyaris digunakan oleh hampir semua negara, baik yang menganut common law system maupun yang menganut civil law system, sekalipun kedua sistem hukum tersebut memiliki sejarah perkembangan hukum yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud adalah bahwa pertanggungjawaban produk di dalam common law system merupakan transformasi dari contractual liability, sedangkan pertanggungjawaban produk di dalam civil law system merupakan derivasi dari tortious liability. Alhasil, pertanggungjawaban langsung (strict liability) di dalam common law system disebut sebagai liability based on risk karena berasal dari contractual liability, di mana tanggungjawab terletak pada pihak yang menimbulkan resiko bukan pada pihak yang melakukan kesalahan. Sedangkan di dalam civil law system, pertanggungjawaban langsung (strict liability) disebut sebagai no-fault liability karena berasal dari tortious liability, di mana tanggung jawab terletak pada pihak yang telah melakukan kesalahan (fault), dan kesalahan tersebut dipersangkakan kepada pihak pelaku (presumption of fault). Berhubung unsur kesalahan telah dipersangkakan kepada pelaku, maka dalam proses pembuktian di pengadilan terdapat pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan (shifting the burden of proof), yaitu dari pihak korban kepada pihak pelaku yang dibebani keharusan untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Sedangkan di dalam common law system, tidak terdapat pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan karena pertanggungjawabannya didasarkan pada resiko bukan pada kesalahan.
Gerakan konsumerisme (consumerism) yang memperjuangkan perlindungan konsumen, telah menghasilkan sejumlah hak dasar konsumen, yaitu the right to safety, the right to be informed, the right to choose, the right to be heard, the right to redress, the right to an environment that will enhance the quality of life. Sebagai puncak adalah penerbitan United Nations Resolution Nomor 39/248 tentang Consumer Protection, pada tanggal 9 April 1985, beserta Lampirannya yang berjudul Guidelines For Consumer Protection. Sedangkan upaya perlindungan konsumen terdiri atas perlindungan secara non hukum, yang meliputi strategi nir aksi (do nothing strategy) dan ragam aksi (miscellaneous) ; secara hukum yang meliputi strategi pembuatan peraturan perundang-undangan (legislation), penyelesaian sengketa baik melalui peradilan (litigation) maupun di luar peradilan (non litigation), serta melakukan pengaturan mandiri (voluntary self regulation).
Indonesia, sebagai bangsa yang sedang menyelesaikan budaya hukumnya, dapat mengambil alih asas, konsep, dan struktur lembaga hukum pertanggungjawaban produk sebagaimana tumbuh dan berkembang di dalam common law system maupun civil law system, dengan mempertimbangkan hukum yang hidup (the living law ) di Indonesia. Hukum yang hidup antara lain karakter dari pertanggungjawaban produk sebagaimanatersirat di dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), berbagai strategi pemasaran yang digunakan oleh para pelaku usaha, hukum perdata barat (baca : Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi lembaga pertanggungjawaban produk di dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia, adalah sebagai berikut :
1. Posisi
UUPK ternyata tidak mencantumkan lembaga hukum pertanggungjawaban produk secara tersurat, walaupun karakter lembaga hukum pertanggungjawaban produk dapat ditemukan dalam beberapa pasal UUPK, antara lain Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (5) serta Pasal 28 UUPK. Adapun posisinya adalah pada masa konsumen memiliki posisi tawar yang sejajar atau bahkan lebih tinggi daripada posisi tawar pelaku usaha, yang merupakan akibat penggunaan secara luas the Marketing Concept dan the Societal Marketing Concept sebagai the living law, oleh pelaku usaha di Indonesia.
2. Kontribusi
a. Lembaga hukum pertanggungjawaban produk yang karakternya terdapat di dalam UUPK, menyediakan mekanisme hukum yang menjamin agar konsumen tidak mengalami kerugian, pencemaran dan/atau kerusakan ketika mengkonsumsi produk yang dihasilkan pelaku usaha. Jaminan tersebut bertujuan mewujudkan kepuasan konsumen dan/atau kesejahteraan umat manusia oleh pelaku usaha, terlepas dari strategi pemasaran yang digunakannya.
b. Mekanisme hukum yang disediakan oleh UUPK adalah sebagai berikut :
· Kendali dan keputusan penggunaan mekanisme hukum di dalam UUPK berada di tangan konsumen, sehingga ketika konsumen mengalami kerugian, pencemaran dan/atau kerusakan, maka konsumen dapat serta merta menggunakan mekanisme hukum yang disediakan oleh UUPK tersebut ; · Pelaku usaha bertanggungjawab atas dan berkewajiban memberikan ganti rugi kepada konsumen, akibat konsumen mengalami kerugian, pencemaran dan/atau kerusakan ketika mengkonsumsi produk yang dihasilkan pelaku usaha, terlepas (tidak tergantung) dari keberadaan perjanjian atau kontrak antara konsumen dengan pelaku usaha ;
· Pelaku usaha yang menyebabkan konsumen menderita kerugian, pencemaran dan/atau kerusakan ketika mengkonsumsi produk yang dihasilkan pelaku usaha, menurut UUPK langsung dianggap bersalah (presumption of fault) ;
· Menurut UUPK, bila konsumen menggugat pelaku usaha untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang dialaminya, maka konsumen tidak harus membuktikan kesalahan pelaku usaha, melainkan justru pelaku usaha yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah (shifting the burden of proof). |
en_US |