Abstract:
Evolusi dalam karya arsitektur memiliki keunikan tersendiri pada masing-masing zamannya yang khas dan tidak akan terulang kembali, dimana ciri khas tersebut menjadi suatu nilai warisan sejarah dan budaya yang membentuk identitas suatu tempat. Seperti halnya gaya arsitektur pada Era Kolonial Belanda yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan arsitektur kota-kota di Indonesia, terutama pada kota-kota besar. Namun saat ini bangunan cagar budaya di Indonesia telah banyak mengalami perubahan sebagai dampak dari berkembanganya kebutuhan manusia. Perubahan tersebut apabila tidak disertai dnegan kesadaran terhadap pentingnya pelestarian cagar buaday akan menjadi tidak terkendali hingga menyebabkan perubahan total hingga hilangnya benda cagar budaya sebagai bukti sejarah dan identitas bangsa. Demikian pula yang terjadi di Kota Bandung, khususnya pada kawasan simpang lima sebagai embrio kota yang banyak terdapat bangunan-bangunan heritage yang turut membentuk wajah kota. Sangat disayangkan dari kelima sudut simpang lima, saat ini hanya tersisa tiga bangunan heritage. Dengan menghilangnya bangunan-bangunan cagar budaya yang tergantikan oleh bangunan baru tanpa memperhatikan nilai-nilai heritagenya sebagai bagian dari sejarah, maka tempat tersebut juga akan mengalami penurunan nilai-nilai budaya dan krisis identitas. Untuk itu perlu dilakukan usaha pelestarian terhadap bangunan cagar budaya untuk menjaga/mempertahankan nilai-nilainya sebagai kawasan heritage. Salah asatunya dengan cara membuat arahan atau pedoman perancangan berdasarkan kriteria yang didapat dari analisa konteks sekitarnya dalam lingkup makro-meso-mikro. Pada lingkup mikro, telaah terhadap bangunan dilakukan menggunakan pendekatan interpresatasi berdasarkan elaborasi teori arsitektur kolonial dan teori anatomi arsitektur pada aspek bentuk dan sosok. Sehingga didapat poin-poin kriteria perancangan yang dapat dijadikan pedoman pengembangan kawasan heritage secara umum dan kawasan heritage simpang lima secara khusus.