Abstract:
Muncul dan berkembangnya kejahatan ekonomi pada awal tahun 1940an telah mendorong negara-negara untuk melakukan kebijakan kriminalisasi terhadap kejahatan ekonomi. Pada awalnya kebijakan tersebut bersifat reaktif dan sektoral. Pada tahun 1950 Belanda mengeluarkan Wet op de Economische Delicten yang merupakan suatu sistem hukum pidana ekonomi. Ketentuan dalam WED 1950 tersebut berlaku untuk seluruh tindak pidana khusus sampai saat ini sehingga WED 1950 tersebut menjadi “ketentuan umum hukum pidana khusus”. Indonesia pada tahun 1955 menterjemahkan dan memberlakukan WED 1950 tersebut menjadi Undang-Undang Darurat Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE) 1955. Kebijakan untuk menjaga kesatuan hukum pidana ekonomi di Indonesia ternyata hanya diikuti sampai tahun 1963. Setelah itu setiap perundang-undangan ekonomi yang mengatur sanksi pidana membentuk sistem pidananya sendiri.
Kejahatan ekonomi memiliki karakteristik sebagai white collar crimes sehingga penanggulangan dan pemberantasannya memerlukan sarana-sarana khusus sesuai dengan karakteristiknya sebagai white collar crimes. Dengan demikian hukum pidana ekonomi memiliki dasar pembenaran teoretis yang kuat sebaga hukum pidana khusus. Sarana-sarana khusus tersebut mencakup bidang hukum pidana materiil maupun hukum acara pidana. UUTPE 1955 mengatur merupakan hukum pidana khusus di bidang ekonomi. Kebijakan legislatif setelah tahun 1963 yang mengatur secara fragmentaris ketentuan pidana dalam perundang-undangan ekonomi ternyata telah tidak secara lengkap dan sistematis mengatur tentang sarana-sarana khusus tersebut. Oleh karena itu hukum pidana ekonomi kehilangan karakteristiknya sebagai hukum pidana khusus, dan hanya menjadi hukum pidana di luar kodifikasi saja.
Seiring dengan perkembangan tindak pidana ekonomi diperlukan kebijakan untuk membangun kembali sustu sistem hukum pidana ekonomi yang terintegrasi, utuh, lengkap, dan sistematis. Model sebagaimana dalam UUTPE 1955 dapat dipertahankan dengan beberapa pembaharuan materi karena perkembangan teori dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Pembaharuan sistem sanksi pidana harus dilakukan dengan mengedepankan gagasan deinstitusionalisasi, dan mengakomodir alternatif-alternatif sistem sanksi pidana yang makin ringan, makin manusiawi tetapi tetap efektif. Pencelaan sebagai unsur sistem penjatuhan sanski pidana tidak lagi berorientasi untuk mengasingkan (exile) tetapi harus diikuti dengan langkah-langkah mengintegrasikan kembali ke dalam masyarakat. Pada bidang hukum acara pidana pembaharuan harus mengaplikasikan gagasan diversi sebagai upaya untuk menghindari stigmatisasi dari proses hukum acara pidana. Mediasi penal sebagai metode diversi diperkenalkan sebagai alternatif penyelesaian perkara yang dalam prosesnya dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Mediasi penal yang jujur berpotensi menghasilkan penyelesaian yang restoratif dan bermakna bagi seluruh pemangku kepentingan.
Beberapa gagasan baru yang ditawarkan tersebut selain sejalan dengan perkembangan teori hukum pidana dan kecenderungan internasional, ternyata juga sesuai dengan Pancasila khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab.